Sunday, January 31, 2010

Menjaga Kebaikan

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du : 11]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]

Dan Allah berfirman.
“Artinya : Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” [QS Al-Hadid : 27]

Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi” [Muttafaqun ‘Alaihi]

Penjelasan

Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya seseorang jika terbiasa mengerjakan kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika ia sudah terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka hendaknya ia menjaganya. Dan jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.

Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus. Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian itu dikarenakan jika manusia sudah terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya membenci kebaikan, karena mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau seandainya engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada engkau telah melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu yang telah terbukti.

Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya firman Allah.

“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”
[An-Nahl : 92]

Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah memintal dan membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini) tetapi hendaknya kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian lakukan.

Diantaranya firman Allah

“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”
[Al-Hadid : 16]

Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah hati-hati mereka lalu mereka tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..

Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi (diantaranya : hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash bawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan lagi”

Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan dikatakan “fulanah”, dan kata fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan namanya kepada Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan mungkin juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan namanya oleh Abdullah bin Amru.

Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki, dahulunya mengerjakan shalat malam, lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal mengerjakan shalat malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak mengerjakan shalat malam?”. Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu tidak mengerjakannya, inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”.

Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting, hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i, tatkala Allah membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i), maka sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan padanya. Maka jika engkau memulai menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak ada penghalang maka teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap orang yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan pahala fardu (wajib).

Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah (sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih bahwasanya Allah berfirman.

“Artinya : Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai dari apa yang aku wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat Bukhari 6502]

Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam melaksanakannya.

Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk dirinya, sebagaimana ia berkeinginan untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum shalat. Dan barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat, penjual dan pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa yang ingin menunaikan haji maka harus mempelajari hukum-hukum haji, ini hukumnya fardhu ain.

Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu maka jangalah ia kembali (mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh karena itu orang-orang munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal, mereka tinggalkan amal itu.

Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertiganya adalah orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.

“Artinya : Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah kami mengikuti kamu” [Ali-Imran : 167]

Allah berfirman.
“Artinya : Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan” [Ali-Imran 167]

Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia beribadah kepada Allah dengannya dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah (yang bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur dan tidak terlambat, hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabdanya.

“Artinya : Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak kerjakan lagi”


Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk

[ Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 9 Th. II 2004M/1425H. Penerbit Ma’had Ali bin Abu Thalib, Surabaya ]

Harap Dan Takut Buah Keikhlasan

Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz

Seorang mu'min haruslah berharap dan cemas atas setiap amal baik yang ia kerjakan, ia berharap mendapatkan rahmat Allah dan cemas kalau-kalau amal baik yang ia kerjakan tidak diterima oleh Allah Subhana waTa'ala.

Imam Bukhari rahimahullah menamakan sebuah bab dalam kitab Al-Iman dengan Bab khaufil mu'min min an yahbatha a'maluhu wa huwa la yasy'ur, artinya "Bab takutnya seorang mu'min kalau-kalau amalannya terhapus sedang dia tidak menyadarinya". Kemudian beliau membawakan ucapan Ibrahim At-Taimi rahimahullah secara mu'allaq. [Dan dalam kitab Tarikhnya beliau meriwayatkannya secara maushul sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Baari juz 1 hal.136 :

Dan Ibrahim At-Taimi berkata. "Apabila saya mempertimbangkan antara ucapanku dan amalanku saya takut kalau-kalau saya termasuk seorang pendusta."

Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata. "Ucapan beliau (Imam Bukhari, pent) : "Dan Ibrahim At-Taimi berkata," dia adalah termasuk ahli fiqh Tabi'in dan ahli ibadah di kalangan mereka, dan ucapannya diriwayatkan dzalnya berfathah, yaitu : Saya takut orang yang melihat amalku bertentangan dengan ucapanku akan mendustakanku, (maksudnya) ia berkata: Jika engkau benar tentu perbuatanmu tidak bertentangan dengan ucapanmu, ia mengucapkan demikian ketika ia sedang memberi nasehat kepada manusia. Dan diriwayatkan pula huruf dzalnya berkasrah, dan yang ini paling banyak riwayatnya, adapun maknanya, meskipun ia seorang pemberi nasehat kepada manusia, ia merasa bahwa amalannya belum mencapai target yang semestinya. Dan Allah mencela orang yang ber-amar ma'ruf nahi munkar, sedang dia lalai dalam segi amal, sebagaimana dalam firmanNya.

"Amat besar kebencian di sisi Allah, kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan."

[QS As-Shaff : 3]

Maka dia takut seperti para pendusta.[1]

Selanjutnya Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan ucapan Ibnu Abi Mulaikah secara mu'alaq juga. [2]

"Dan Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Saya mendapatkan tiga puluh orang dari para shahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, mereka semuanya takut kalau dirinya terjangkit penyakit nifak, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwa dirinya seperti imannya Jibril dan Mikail".[3]


Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata. "Yang demikian dikarenakan seorang mu'min mungkin sekali datang kepadanya sesuatu yang menodai amalnya sehingga berubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan, dikarenakan ketakutan mereka tersebut, tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara' dan taqwa, semoga Allah meridhai mereka semuanya."

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, istri Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tentang ayat ini "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut." [QS Al-Mu'minun 60].

Apakah mereka itu orang-orang yang meminum minuman keras dan mencuri?

Beliau menjawab, "Bukan! Wahai putri Ash-Shidiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang berpuasa, menjalankan shalat, bershadaqah dan mereka takut kalau-kalau amal baik mereka itu tidak diterima, mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan.[4]


Saudara-saudaraku sekalian, pada kesempatan ini saya nukilkan tulisan Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam bukunya SiyarA'laami An-Nubalaa ketika beliau menulis biografi Al-Allamah, Al Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Abi Hatim Ar Razi rahimahullah (327H), Imam AdzDzahabi rahimahullah berkata.

"Dan Abu Ar Rabi' Muhammad bin Al Fadhl Al Balkhi berkata, "Saya mendengar dari Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih Ar Razi, saya mendengar dari Ali bin Al-Husein bin Al Junaid, saya mendengar dari Yahya bin Ma'in bahwasanya ia berkata, "Sesungguhnya kami mencela manusia, padahal mungkin mereka yang dicela tersebut telah disediakan tempat mereka di Surga sejak dua ratus tahun yang lalu (sejak wafatnya, pent)"." Saya berkata (yaitu Imam Adz-Dzahabi, pent), "Barangkali yang benar sejak seratus tahun yang lalu, karena sesungguhnya di zaman Yahya belum sampai ke angka tersebut."

Ibnu Mahrawaih berkata, "Maka saya masuk menemui Abdurrahman bin Abi Hatim dan dia sedang membacakan buku Al-Jarhu wat Ta'dil kepada manusia, lalu saya sampaikan perkataan Yahya bin Ma'in, maka beliau menangis, dan kedua tangannya gemetar sampai mengakibatkan bukunya terjatuh, dan terus menangis sambil meminta kepadaku untuk mengulangi hikayat tersebut.

Saya berkata (Yaitu Imam Adz-Dzahabi,pent), "Dia menempuh jalan gentar dan takut akan akibat yang buruk, padahal ucapan pengkritik yang wara' mengenai orang-orang dhu'afa, termasuk nasehat bagi dien Allah dan dalam rangka membela As Sunnah.[5]

Semoga kisah di atas menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua.
Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati-hati kami agar selalu dalam keadaan istiqamah di atas dien Mu yang lurus, dan kami memohon kepadaMu untuk mengakhiri kehidupan di dunia ini dengan kesudahan yang baik.

Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk

[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam]
__________
Foote Note
[1]. Fathul Bari, juz 1 hal.136
[2]. Dimaushulkan oleh Abu Zur'ah Ad-Dimasyqi dalam Tarikh-nya dan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh-nya dan Muhammad Ibnu Nashr Al-Marwazi dalam kitabnya Al-Iman, meskipun keduanya tidak menyebutkan jumlah shahabat, begitulah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajardalam Fathul Bari, Juz 1hal. 136
[3]. Shahih Al Bukhari, hal 14
[4]. H.R. Tirmidzi (2/201), Ibnu Jarir (10/26), Al-Hakim (2/393-394) dan Al-Baghawi dalam tafsirnya (6/25)dan Ahmad (6/159 dan 205).Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah No.162)
[5]. Siyar A'lami An-Nubala', juz 13 hal.268

sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1841/slash/0


Tanda-Tanda Ilmu Yang Bermanfaat

Oleh : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Ilmu yang bermanfaat dapat diketahui dengan melihat kepada pemilik ilmu tersebut.

Di antara tanda-tandanya adalah :
  1. 1. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.

Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]
  • Pemilik ilmu yang bermanfaat, apabila ilmunya bertambah, bertambah pula sikap tawadhu’, rasa takut, kehinaan, dan ketundukannya di hadapan Allah Ta’ala.
  • Ilmu yang bermanfaat mengajak pemiliknya lari dari dunia. Yang paling besar adalah kedudukan, ketenaran, dan pujian. Menjauhi hal itu dan bersungguh-sungguh dalam menjauhkannya, maka hal itu adalah tanda ilmu yang bermanfaat.
  • Pemilik ilmu ini tidak mengaku-ngaku memiliki ilmu dan tidak berbangga dengannya terhadap seorang pun. Ia tidak menisbatkan kebodohan kepada seorang pun, kecuali seseorang yang jelas-jelas menyalahi Sunnah dan Ahlus Sunnah. Ia marah kepadanya karena Allah Ta’ala semata, bukan karena pribadinya, tidak pula bermaksud meninggikan kedudukan dirinya sendiri di atas seorang pun. [2]
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah membagi ilmu yang bermanfaat ini -yang merupakan tiang dan asas dari hikmah- menjadi tiga bagian. Beliau rahimahullaah berkata, “Ilmu yang terpuji, yang ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi, sebagaimana disabdakan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

    “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]

    Ilmu Ini Ada Tiga Macam :
    1. Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.
  • Ilmu mengenai berita dari Allah tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi di masa datang serta yang sedang terjadi. Contohnya adalah Allah menurunkan ayat-ayat tentang kisah, janji, ancaman, sifat Surga, sifat Neraka, dan sebagainya.
  • Ilmu mengenai perintah Allah yang berkaitan dengan hati dan perbuatan-perbuatan anggota tubuh, seperti beriman kepada Allah, ilmu pengetahuan tentang hati dan kondisinya, serta perkataan dan perbuatan anggota badan. Dan hal ini masuk di dalamnya ilmu tentang dasar-dasar keimanan dan tentang kaidah-kaidah Islam dan masuk di dalamnya ilmu yang membahas tentang perkataan dan perbuatan-perbuatan yang jelas, seperti ilmu-ilmu fiqih yang membahas tentang hukum amal perbuatan. Dan hal itu merupakan bagian dari ilmu agama. [4]
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th. 728 H) rahimahullaah juga berkata, “Telah berkata Yahya bin ‘Ammar (wafat th. 422 H), ‘Ilmu itu ada lima :
    1. Ilmu yang merupakan kehidupan bagi agama, yaitu ilmu tauhid
    2. Ilmu yang merupakan santapan agama, yaitu ilmu tentang mempelajari makna-makna Al-Qur-an dan hadits.
    3. Ilmu yang merupakan obat agama, yaitu ilmu fatwa. Apabila suatu musibah (malapetaka) datang kepada seorang hamba, ia membutuhkan orang yang mampu menyembuhkannya dari musibah itu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu.
    4. Ilmu yang merupakan penyakit agama, yaitu ilmu kalam dan bid’ah, dan
    5. Ilmu yang merupakan kebinasaan bagi agama, yaitu ilmu sihir dan yang sepertinya.’” [5]
    6. Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk


      [Disalin dari buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga “Panduan Menuntut Ilmu”, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO BOX 264 – Bogor 16001 Jawa Barat – Indonesia, Cetakan Pertama Rabi’uts Tsani 1428H/April 2007M]
      ___________
      Foote Notes
      [1]. Sunan ad-Darimi (I/89)
      [2]. Disarikan dari kitab Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf (hal. 55-57).
      [3]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3641), at-Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223), dan Ibnu Hibban (no. 80-Mawaarid), ini lafazh Ahmad, dari Shahabat Abu Darda' radhiyallaahu ‘anhu.
      [4]. Majmu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XI/396,397 dengan sedikit perubahan). Lihat kitab Muqawwimaat ad-Daa’iyah an-Naajih, hal. 18, karya Dr. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf al-Qahthani.
      [5]. Majmuu’ Fataawaa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (X/145-146) dan Siyar A’laamin Nubalaa’ (XVII/482)

      sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2310/slash/0

      Saturday, January 30, 2010

      Jika Pria Harus Jatuh Cinta

      Jatuh cinta pada seorang wanita, mungkin semua pria pernah mengalaminya. Rasanya hampir tak terkatakan. Ada kalanya cinta itu membahagiakan, tapi tak jarang juga menyakitkan. Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullah membagi cinta kepada wanita ini dalam tiga bentuk.

      Pertama, Mencintai dengan maksud ketaatan dan taqorrub kepada Allah Ta’ala. Ini merupakan cinta kepada istri dan budak wanita yang dimiliki. Merupakan cinta yang bermanfaat dan dapat mengantarkan pada tujuan yang disyari’atkan Allah dan pernikahan, dapat menahan pandangan mata dan hati untuk melirik wanita selain istrinya. Orang yang mencintai semacam ini dipuji di sisi Allah dan di tengah manusia.

      Kedua, Cinta yang dibenci Allah dan menjauhkan dari rahmat-Nya. Cinta yang hanya memperturutkan hawa nafsu. Demi cinta ini, seorang hamba mau melanggar syari’at Allah ‘Azza Wa Jalla. Cinta ini merupakan yang paling berbahaya bagi hamba, yang dapat mengancam dien dan dunianya. Siapa yang memiliki cinta ini, dia hina dihadapan Allah, dia orang yang hatinya paling jauh dari Allah, dan cinta ini merupakan tabir penghalang antara dirinya dengan Allah. Untuk mengobatinya adalah dengan memohon pertolongan kepada Allah yang membolak-balikkan hati, bersungguh-sungguh untuk kembali kepada-Nya. Sibuk mengingatnya, menyibukkan diri dan mengganti cinta itu dengan cinta hanya pada Allah. Memikirkan derita dan sengsara yang akan dialami lantaran cinta itu, dan menggambarkan keindahan sebenarnya dengan meninggalkan cinta itu.

      Ketiga, Cinta yang mubah. Cinta yang tiba-tiba datang, seperti mencintai wanita yang sifatnya dikatakan kepadanya atau dilihat dengan tidak sengaja, lalu hati pun tertambat padanya. Tapi cinta ini tak sampai menjerumuskan dirinya hingga melakukan maksiatdan kedurhakaan (seperti berhubungan atau berpacaran dengan wanita itu). Yang ini tidak menimbulkan siksaan. Yang paling bermanfaat adalah membuang jauh-jauh cinta ini dan menyibukkan diri dengan hal yang lebih bermanfaat. Dan juga harus menyembunyikan perasaannya, dan sabar dalam menghadapi ujian cinta ini sehingga dengannya Allah memberikannya pahala. Yang mesti dilakukannya adalah mengganti cintanya itu dengan kesabaran karena Allah, tidak patuh pada bisikan nafsu dan lebih mementingkan keridhoan Allah dan apa yang ada di sisi-Nya.

      Dari tiga bentuk cinta di atas, dapat dipahami bahwa seandainya bara cinta itu—yang lahir karena keindahan wajah seorang wanita—mampu dipendam, bahkan diredam dan tidak melanjutkannya pada tahapan yang melanggar syari’at (seperti pacaran), kemudian bersabar dan memohon ketabahan kepada Allah, dan lebih memilih keridhoan walau harus bertarung dengan perasaan sendiri, maka ini yang dibolehkan. Dan satu hal yang tak boleh dilupakan seorang muslim bahwa Allah tak mungkin menyia-nyiakan hamba-Nya yang lebih memilih cinta dan kasih sayang-Nya, meskipun harus merelakan sang kekasih menjadi milik orang lain. Mungkin dengan ujian cinta dan sikap kita yang seperti itu (lebih memilih keridhoan Allah), Allah ingin kita menjadi hamba pilihan yang kelak akan merasakan indahnya bersanding dengan bidadari nan menawan di jannah-Nya.

      Andaikan memilih bentuk cinta kedua, maka ini yang disebutkan Ibnul Qoyyim bahwa permulaannya yang ringan dan manis. Pertengahannya kekhawatiran, kesibukan hati dan siksaan dan kesudahannya adalah kebinasaan dan kematian.

      Adapun bentuk cinta yang ketiga, maka obatnya hanya dua.Pertama, berpuasa dan menyibukkan diri dari hal yang mampu menjauhkan pikiran ke arah “sana”. Kedua, jika puasa sudah tidak bisa meredam gejolak cinta itu, maka tak ada jalan lain lagi selain menikah. “Menikah dengan wanita yang dicintai merupakan obat cinta yang paling mujarab, yang dijadikan Allah sebagai penawar yang sejalan dengan ketaatan syari’at”, demikian Ibnul Qoyyim Rahimahullah meyakinkan.

      Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (artinya): “Ada tiga perkara apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (1) Ia menjadikan Allah dan Rosul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang karena Allah, ia membenci seseorang hanya kepada Allah, (3) Ia sangat benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api.”(HR Bukhori - Muslim)

      Karena itu, jika kita mencintai seseorang, usahakan jangan sampai melebihi cinta kita pada Allah dan Rosul-Nya, agar cinta kita tidak menggelincirkan kita dalam jurang kekufuran.

      Wallahu a'lam bishshawab.

      Sumber : Majalah Fatawa Vol. IV/No.001, Muharrom 1429 Hijriyah/Januari 2008.

      Makna Ikhlas

      Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

      Pertanyaan
      Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa makna Al-Ikhlas? Dan, bila seorang hamba menginginkan melalui ibadahnya sesuatu yang lain, apa hukumnya?

      Jawaban
      Ikhlas kepada Allah Ta’ala maknanya seseorang bermaksud melalui ibadahnya tersebut untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendapatkan keridhaan-Nya.

      Bila seorang hamba menginginkan sesuatu yang lain melalui ibadahnya, maka disini perlu dirinci lagi berdasarkan klasifikasi-klasifikasi berikut :

      Pertama
      Dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik.

      Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman.

      “Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]

      Kedua
      Dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duaniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah ; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah Ta’ala. Dalam hal ini, Allah Ta’ala berfirman.

      “Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]

      Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama ; Bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya di puji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadapn dirinya.

      Ketiga
      Dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah Ta’ala, disamping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya –disamping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya ; dia berhaji –disamping niat beibadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syi’ar haji (Al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji ; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala mengenai para jama’ah haji.

      “Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]

      Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya.

      “Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]

      Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]

      Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

      “Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]

      Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah ; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga ; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selain-Nya juga.

      Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai malalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.

      Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”

      Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya.

      Yang jelas perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa hadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.

      Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas

      Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugrahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.

      Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk

      [Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 1, hal. 98-100]

      [Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
      __________
      Foote Note.
      [1]. Shahih Muslim, kitab Az-Zuhd (2985)
      [2]. Sunan Abu Daud kitab Al-Jihad (2516), Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul) ; lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad no. 7887
      [3]. Shahih Al-Bukhari, kitab Bad’u Al-Wahyi (1), Shahih Muslim, kitab Al-Imarah (1907)

      sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2158/slash/0

      Macam-Macam Hati

      Hati itu bisa hidup dan bisa mati. Sehubungan dengan itu, hati dapat dikelompokkan menjadi:

      [1]. Hati yang sehat
      [2]. Hati yang mati
      [3]. Hati yang sakit

      Hati yang sehat adalah hati yang selamat. Pada hari kiamat nanti, barangsiapa menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa membawanya tidak akan selamat.
      Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

      "Adalah hari yang mana harta dan anak-anak tidak bermanfaat, kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat." [Asy-Syu'ara : 88-89]

      Hati yang selamat didefinisikan sebagai hati yang terbebas dari setiap syahwat, keinginan yang bertentangan dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dari setiap syubhat, ketidakjelasan yang menyeleweng dari kebenaran. Hati ini selamat dari beribadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Ubudiyahnya murni kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala . Iradahnya, mahabbahnya, inabahnya, ikhbatnya, khasyyahnya, roja'nya, dan amalnya, semuanya lillah, karenaNya. Jika ia mencintai, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ini saja tidak dirasa cukup. Sehingga ia benar-benar terbebas dari sikap tunduk dan berhukum kepada selain Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Hatinya telah terikat kepadanya dengan ikatan yang kuat untuk menjadikannya sebagai satu-satunya panutan, dalam perkataan dan perbuatan. Ia tidak akan berani bersikap lancang, mendahuluinya dalam hal aqidah, perkataan atau pun perbuatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

      "Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
      [Al-Hujurat : 1]

      Hati yang mati adalah hati yang tidak mengenal siapa Rabbnya. Ia tidak beribadah kepadaNya dengan menjalankan perintahNya atau menghadirkan sesuatu yang dicintai dan diridlaiNya. Hati model ini selalu berjalan bersama hawa nafsu dan kenikmatan duniawi, walaupun itu dibenci dan dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala . Ia tidak peduli dengan keridlaan atau kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Baginya, yang penting adalah memenuhi keinginan hawa nafsu. Ia menghamba kepada selain Allah Subhanahu wa Ta'ala . Jika ia mencinta, membenci, memberi, dan menahan diri, semuanya karena hawa nafsu. Hawa nafsu telah menguasainya dan lebih ia cintai daripada keridlaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hawa nafsu telah menjadi pemimpin dan pengendali baginya. Kebodohan adalah sopirnya, dan kelalaian adalah kendaraan baginya. Seluruh pikirannya dicurahkan untuk menggapai target-target duniawi. Ia diseru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan negeri akhirat, tetapi ia berada di tempat yang jauh sehingga ia tidak menyambutnya. Bahkan ia mengikuti setiap setan yang sesat. Hawa nafsu telah menjadikannya tuli dan buta selain kepada kebatilan.[1]. Bergaul dengan orang yang hatinya mati ini adalah penyakit, berteman dengannya adalah racun, dan bermajlis dengan mereka adalah bencana.

      Hati yang sakit adalah hati yang hidup namun mengandung penyakit. Ia akan mengikuti unsur yang kuat. Kadang-kadang ia cenderung kepada 'kehidupan', dan kadang-kadang pula cenderung kepada 'penyakit'. Padanya ada kecintaan, keimanan, keikhlasan, dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala , yang merupakan sumber kehidupannya. Padanya pula ada kecintaan dan ketamakan terhadap syahwat, hasad [2], kibr [3], dan sifat ujub, yang merupakan sumber bencana dan kehancurannya. Ia ada diantara dua penyeru; penyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Rasul Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan hari akhir, dan penyeru kepada kehidupan duniawi. Seruan yang akan disambutnya adalah seruan yang paling dekat, paling akrab.

      Demikianlah, hati yang pertama adalah hati yang hidup, khusyu', tawadlu', lembut dan selalu berjaga. Hati yang kedua adalah hati yang gersang dan mati, Hati yang ketiga adalah hati yang sakit, kadang-kadang dekat kepada keselamatan dan kadang-kadang dekat kepada kebinasaan.

      Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk

      [Diketik ulang dari: "Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf", Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali. Pentahqiq: Dr. Ahmad Farid. Penerjemah: Imtihan Asy-Syafi'i. Editor: Abu Fatiah Al Adnani . Penerbit: Pustaka Arafah, Solo. Cetakan Pertama: Februari 2001/Dzul Qa'dah 1421 H, hal.22-24]
      _________
      Foote Note
      [1]. Disebutkan dalam sebuah hadits, "Cintamu kepada sesuatu akan membutakanmu dan menulikanmu," Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Al- Adab XIV/38 secara marfu'dan oleh Imam Ahmad dalam Musnad V /194 secara marfu', juga VI/450 secara mauquf. Semuanya dari Abu Darda'. Abu Dawud tidak mengomentari hadits ini. Namun sebagian ulama menghasankannya, dan sebagian yang lain mendlaif-kannya.
      [2]. Hasad atau dengki adalah sikap tidak suka melihat orang lain mendapat nikmat dan mengharapkan nikmat itu lenyap darinya.
      [3]. Kibr atau sombong adalah menganggap remeh orang lain. Rasulullah bersabda, Kibr itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." HR. Muslim II/89

      sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/452/slash/0

      Pengaruh Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

      Oleh :
      Ummu Salamah As-Salafiyyah

      Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku pernah tidur, lalu aku bermimpi diriku berada di Surga, lalu aku mendengar suara seorang yang sedang membaca (al-Qur’an), lalu kutanyakan, ‘Siapa ini?’ Mereka menjawab, ‘Ini adalah Haritsah bin an-Nu’man”


      Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
      “Demikianlah ganjaran dari berbakti, demikianlah ganjaran dari berbakti”
      Beliau adalah orang yang paling berbakti terhadap ibunya.
      [HR. Ahmad dengan sanad yang shahih]

      Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

      “Ketika ada tiga orang berjalan-jalan tiba-tiba mereka kehujanan, lalu mereka berteduh di dalam gua pada sebuah gunung. Ketika mereka tengah berada di dalam gua itu, tiba-tiba ada batu besar yang jatuh sehingga menutupi mulut gua tersebut. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya, ‘Lihatlah pada amalan yang paling baik yang pernah kalian kerjakan, lalu mohonlah kepada Allah dengan amalan tersebut, siapa tahu akan dibukakan celah pada batu tersebut bagi kalian.’ Lalu salah seorang di antara mereka berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia sementara aku memiliki isteri dan juga anak-anak yang masih kecil. Dan aku memelihara mereka. Karenanya, jika aku telah mengandangkan kambingku, aku mulai mengurus kedua orang tuaku, dimana aku memberi minum susu keduanya. Kemudian aku tidak mendatanginya sehingga kedua orang tuaku tidur. Kemudian aku membersihkan bejana, lalu memerah susu. Selanjutnya aku membawa susu itu dekat kepala kedua orang tuaku sementara anak-anak bergelantungan di kedua kakiku, karena aku tidak ingin memulai mengurus mereka sebelum mengurus kedua orang tuaku dan aku tidak ingin membangunkan keduanya. Dan aku masih terus berdiri sampai fajar bersinar terang. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku melakukan hal itu dalam rangka mencari keridhaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sebuah celah dimana kami dapat melihat langit darinya. Maka Allah pun membukakan celah bagi mereka sehingga mereka dapat melihat langit darinya… [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

      Dari Usair bin Jabir, dia berkata, ‘Umar bin al-Khaththab jika didatangi oleh rombongan penduduk Yaman, maka dia akan bertanya kepada mereka, “Apakah di antara kalian terdapat Uwais bin ‘Amir?” Sehingga dia mendatangi Uwais seraya berkata, “Engkau Uwais bin ‘Amir?” “Ya,” jawabnya.
      ‘Umar berkata, ‘Dari Murad dan kemudian Qaran?’ ‘Ya,’ jawabnya. ‘Umar berkata, “Dan padamu terdapat penyakit kusta, lalu engkau sudah sembuh darinya, kecuali tersisa sebesar dirham?” “Ya,” jawabnya.
      ‘Umar bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu?’ ‘Ya, masih,’ jawabnya.
      ‘Umar berkata, aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
      “Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir dari rombongan penduduk Yaman dari Murad, kemudian dari Qaran. Dimana padanya terdapat penyakit kusta dan kemudian sembuh darinya kecuali satu tempat dari tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu yang dia sangat berbakti kepadanya. Jika dia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan menerimanya. Oleh karena itu, jika engkau bisa meminta kepadanya supaya memohonkan ampunan untukmu, maka lakukanlah.’ Oleh karena itu, mohonkanlah ampunan untukku.”

      Kemudian dia pun memohonkan ampunan untuknya. Lalu ‘Umar berkata kepadanya, “Ke mana engkau hendak pergi?” “Ke Kufah,” jawabnya.

      ‘Umar berkata, “Maukah engkau aku tuliskan surat untukmu kepada pemimpinnya?” Dia berkata, “Aku tinggal bersama orang-orang miskin lebih aku sukai.”

      Usair berkata, “Dan pada tahun berikutnya, ada seseorang, yang termasuk pemuka di antara mereka, lalu berpapasan dengan ‘Umar, kemudian ‘Umar menanyakan Uwais. Orang itu berkata, ‘Aku meninggalkannya dengan rumah yang mengenaskan dan sedikit harta.’

      ‘Umar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir dari rombongan penduduk Yaman dari Murad dan kemudian dari Qaran. Di mana padanya terdapat penyakit kusta, kemudian sembuh darinya kecuali satu tempat pada tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu yang dia sangat berbakti kepadanya. Jika dia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Oleh karena itu, jika engkau bisa meminta kepadanya supaya memohonkan ampunan untukmu, maka lakukanlah”

      Lalu Usair mendatangi ‘Uwais seraya berkata, “Mohonkanlah ampunan untukku.”
      Usair berkata, ‘Engkau baru saja melakukan perjalanan yang baik, maka mohonkanlah ampunan untukku. Apakah engkau pernah bertemu ‘Umar?’ ‘Ya,’ jawabnya.

      Lalu dia pun memohonkan ampunan untuknya. Maka orang-orang pun memahaminya sehingga mereka pun pergi mendatanginya.
      Usair berkata, “Aku memakaikan baju burdah kepadanya. Di mana setiap kali dia dilihat oleh orang, maka orang itu berkata, ‘Dari mana Uwais mendapatkan baju burdah itu?’”
      [HR. Muslim]

      Perbuatan Baik Yang Paling Baik
      Dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seseorang dari Arab badui menemuinya pada satu jalan di Makkah, lalu ‘Abdullah bin ‘Umar memberinya salam dan membawanya di atas keledai yang ia tumpangi dan dia berikan penutup kepala yang ada di atas kepalanya. Ibnu Dinar berkata, “Lalu kami katakan kepadanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya dia itu termasuk orang-orang badui dan orang-orang badui ridha dengan pemberian yang sedikit” lalu ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sesungguhnya bapak orang ini adalah sahabat baik ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah menyambung tali silaturahmi yang dilakukan oleh seseorang terhadap keluarga orang kecintaan ayahnya[HR. Muslim]

      Dari kitab Al-Intishaar li Huquuqil Mu’minaat, Edisi Indonesia Dapatkan Hak-Hakmu Wahai Muslimah, Penulis Ummu Salamah As-Salafiyyah, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir

      sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2423/slash/0

      Warisanku Hanya Satu Dinar


      oleh : Izzudin Karimi Benar... hanya satu dinar. sepintas tidak ada yang unik atau aneh, namun tahukah Anda berapa harta peninggalan mayit? Ternyata enam ratus dinar, bagaimana seorang ahli waris hanya mendapatkan satu dinar saja dari enam ratus? Jangankan Anda, orang sekelas Abdul Malik bin Marwan, khalifah Umawi di zamannya, juga tidak mengerti. Seorang wanita datang kepada Abdul Malik bin Marwan dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saudaraku wafat dan dia meninggalkan enam ratus dinar, namun aku hanya mendapatkan warisannya satu dinar saja.” Abdul Malik tidak menjawab, dia meminta agar asy-Sya’bi, Amir bin Syarahil, seorang tabiin besar, dihadirkan. Asy-Sya’bi menjelaskan, “Mayit wafat sementara ahli warisnya adalah dua anak perempuan, ibu, istri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Bagian dua anak perempuan adalah dua pertiga, empat ratus. Bagian ibu adalah seperenam, seratus. Bagian istri adalah seperdelapan, tujuh puluh lima. Sedangkan saudara-saudaranya baik yang laki-laki maupun yang perempuan adalah ashabah, bagian mereka adalah sisa yaitu dua puluh lima, selanjutnya bagian saudara laki-laki adalah dua kali bagian saudara perempuan, maka dua puluh empat adalah milik dua belas orang saudara laki-laki, masing-masing mendapatkan dua, yang tersisa adalah satu, bagian saudara perempuan dan dia adalah wanita itu.” sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatsastra&id=97 Semoga Bermanfaat... Tafadhol di share bagi yang berkenan...

      Cinta Dunia Tanda Kehancuran


      oleh : Abu Mas’ud al-Atsari Wahai kaum muslimin—semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada kita—cinta adalah pokok seluruh amalan. Tidaklah seseorang mengerjakan sesuatu melainkan demi meraih apa yang ia cintai, apakah itu sesuatu yang membawa manfaat baginya atau sesuatu yang bisa menangkal madhorot (bahaya) yang akan menimpanya. Dengan cinta seseorang bisa mencapai kebahagiaan. Dengan cinta pula seseorang akan terjerumus ke dalam lembah kenistaan. Surga yang penuh kenikmatan bisa diraih dengan cinta. Begitu pula neraka yang penuh dengan kesengsaraan, orang bisa masuk ke dalamnya disebabkan cinta pula. Lantas bagaimanakah jika seseorang lebih mencintai urusan dunia daripada hal­hal yang bisa mengantarkan pada kebahagiaan akhirat yang abadi? Indahnya Dunia Menurut Pandangan Islam “Dunia” bila dilihat dari asal katanya berarti sesuatu yang rendah. Al-Qur‘an sendiri mengatakan di banyak ayatnya bahwa dunia itu hanyalah senda gurau dan permainan. Ia merupakan kehidupan yang fana dan pasti akan berakhir. Alloh berfirman :
      Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main main, dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS al-'Ankabut : 64)
      Pada suatu ketika, Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam melewati sebuah pasar yang di dalamnya terdapat seekor bangkai kambing yang telinganya putus lantas beliau menawarkannya kepada para sahabatnya dengan harga satu dirham. Akan tetapi, para sahabat tidak mau. Kemudian beliau menawarkan secara cuma­cuma (gratis). Lagi­lagi, para sahabat menolaknya seraya berkata :
      “Demi Allah, kalau seandainya kambing ini masih hidup maka ia ada cacatnya karena telinganya tersebut, lalu bagaimana jika ia sudah menjadi bangkai dan dalam keadaan seperti itu?” Maka dengan bijak Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam memberi pengarahan kepada para sahabatnya dengan mengatakan: “Demi Alloh, sungguh dunia ini lebih hina daripada seekor kambing ini.” (HR Muslim: 2957)
      Walaupun demikian, bukan berarti kita harus meninggalkannya seperti yang dilakukan orang-orang sufi. Akan tetapi, kita memanfaatkan dunia sekadarnya saja karena dunia ini diciptakan oleh Alloh hanyalah sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak. Cinta Dunia Adalah Tabiat Manusia Di antara sifat manusia yang merupakan bawaan sejak lahir adalah cinta akan bapak, ibu, suami, istri, anak, harta yang melimpah, nyaman dan mewahnya kendaraan, banyaknya binatang ternak, dan suksesnya perniagaan. Hal ini bisa jadi lumrah lantaran itu semua memang salah satu tabiat manusia sebagaimana firman Alloh :
      Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang­binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allohlah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali 'Imron : 14)
      "Cinta bawaan” ini akan membuahkan kebahagiaan yang berlipat ganda bila pemiliknya tidak mencurahkan semua benih­benih cinta tersebut dalam hatinya hanya melulu kepadanya. Namun, ia mencintainya sekadar sebagai sarana untuk menggapai keridhoan Robbul ’alamin (Alloh 'azza wa Jalla) dengan menunaikan segala kewajiban­Nya serta meninggalkan semua hal-hal yang membuat Dia murka. Ciri-Ciri Pencinta Dunia Sebenarnya banyak ciri-ciri orang yang lebih mencintai dunia daripada akhirat. Akan tetapi akan kami sebutkan beberapa saja, di antaranya :
      1. Seseorang yang mencintai sesuatu tentu akan senang dan akan menyebut-nyebut sesuatu yang ia cintai dan sangat senang bercengkerama dengannya. Ia akan merasa damai dan tenteram bila berada di sampingnya. Bila berjauhan ia akan merasa terus merindukannya dan ingin selalu berjumpa dengannya. Bila berpisah dengannya akan terasa sangat berat baginya.
      2. Orang yang cinta kepada sesuatu pastilah lebih mengutamakan apa yang dicintainya daripada yang lain. Demi mendapatkan apa yang ia cintai, ia rela mengorbankan harta, waktu, dan bahkan nyawa. Ini terbukti dengan makin banyaknya aturan-aturan Islam yang ia tinggalkan karena tergoda dengan gemerlapnya dunia yang telah menipunya. Maka siapa saja yang merasa pada dirinya ada sifat-sifat ini ketika menghadapi kenikmatan dunia maka ia termasuk orang yang cinta dunia secara tidak proporsional (menempatkan pada tempatnya) bahkan berlebih lebihan.
      Akibat Cinta Dunia yang Berlebihan Cinta dunia bila diletakkan pada tempatnya tidak akan mengakibatkan kesengsaraan yang berkepanjangan. Akan tetapi, jika melebihi cintanya kepada Alloh maka akan berakibat sangat buruk, di antaranya :
      1. Harga dirinya akan hina di hadapan para musuhnya sehingga laksana makanan dalam piring yang siap untuk disantap. Sebagaimana sabda Rosululloh yang artinya : “Hampir saja umat-umat (kafir) mengerumuni kalian sebagaimana mereka mengerumuni makanan di sebuah piring.” Salah seorang di antara mereka bertanya: “Apakah jumlah kita pada waktu itu sangat sedikit?” Rosululloh menjawab: “Kalian pada waktu itu sangat banyak jumlahnya tetapi seperti buih yang ada di lautan. Alloh akan menghilangkan rasa takut dari musuh-musuh kalian dan memberikan al-Wahn pada hati-hati kalian.” Lantas ada yang bertanya: “Apakah al-wahn itu wahai Rosululloh?” Rosulullloh n menjawab : Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud : 4297 dan dishohihkan Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah : 2/684)
      2. Sebagai sebab yang bisa mengundang datangnya siksa Alloh (QS at-Taubah : 24)
      3. Yang lebih parah lagi, ketika di akhirat ia akan menempati neraka yang telah disediakan oleh Alloh, berdasarkan firman Alloh : Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS an-Nazi’at : 37­39)
      Kiat-Kiat Agar Selamat dari Cinta Dunia
      1. Sadarilah bahwa kenikmatan dunia itu hanyalah bersifat sementara sedangkan kenikmatan akhirat itu bersifat kekal nan abadi. (QS al-Mukmin : 39)
      2. Cermatilah kehidupan orang­orang terdahulu. Bandingkanlah pencinta dunia—seperti Qorun, Haman, Fir’aun, dll. dengan pencinta negeri akhirat—seperti para nabi dan rosul, sahabat Rosululloh, dll. dan lihatlah apa yang mereka peroleh dari perbuatan mereka.
      3. Do’a merupakan senjata bagi seorang muslim. Oleh karena itu, berdo’alah kepada Alloh supaya Dia tidak menjadikan dunia ini sebagai cita-cita (tujuan) terbesar hidup kita.
      4. Lihatlah orang-orang yang lebih rendah daripada engkau (dari segi ekonomi) dan jangan melihat kepada orang­orang yang di atasmu, karena hal itu bisa menambah untuk bisa bersyukur kepada Alloh dan tidak berambisi terhadap kenikmatan dunia. Demikianlah yang bisa kami bahas dalam edisi kali ini. Semoga Alloh mengampuni kekurangan dan kesalahan yang ada di alamnya.
      Akhirnya, semoga Alloh 'Azza wa Jalla membukakan hati saudara-saudara kita yang sedang dimabuk cinta dunia hingga melalaikan tugasnya sebagai hamba Alloh yang wajib beribadah hanya kepada-Nya saja. Dan semoga Alloh 'Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk orang-orang yang menjadikan dunia ini sebatas sarana dan bukan tujuan utama hidup. Aamiin. WaLlohu A’lam bish­Showab. Sumber : buletin Al Furqon Volume 9 No.2 Muharrom 1430 Semoga bermanfaat... Silakan share bagi yang berkenan...

      Mulai Blogging...

      Assalamu 'alaykum warohmatullahi wabarokatuh
      setelah dakwah di dunia FB terasa kering...
      kayaknya blog adalah dunia yang lebih cocok untuku...
      dunia yang tak terlalu sibuk...
      pergerakan yang lebih dinamis...
      semoga bermanfaat untuk diriku pribadi dan juga pengujung pada umumnya...
      barokallahu fiikum...
      Wassalamu 'alaykum warohmatullahi wabarokatuh