Sunday, May 30, 2010

Nilai-Nilai Ketauhidan dari Surah Al-Fatihah

Oleh : Abu Muhsin Maryono

Telah maklum bagi kita bahwa tauhid terbagi menjadi tiga. Pertama, Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam setiap perbuatan seorang hamba, seperti berdoa, beristghosah, menyembelih, nadzar dll. Ke dua Tauhid Rububiyyah adalah mentahidkan Allah dalam setiap perbuatan-Nya, seperti menciptakan, memberi rizki, menghidupkan, mematikan dll. Ke tiga, Tauhid Asma Wa Sifat adalah menetapkan terhadap apa-apa yang telah Allah tetapkan atas diri-Nya dan yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya dari nama-nama dan sifat-sifat Allah atas segi yang berkaitan dengan kesempurnaan dan ketinggian Allah, tanpa menyerupakan atau membagaimanakan, dan tanpa merubah atau meniadakan.

Pembagian tauhid menjadi tiga, terdefinisikan atas dasar pembacaan dari Nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam uraian ringkas ini kita akan melihat bagaimana tauhid tersebut ada dalam salah satu surah dari surah-surah yang ada dalam al-Qur’an, yaitu surah pembuka, surah al-Fatihah yang telah banyak dihafal oleh kaum muslimin sedunia. Uraian ini kami nukil dari kitab Qotfu al-Jana ad-Dani Syarh Muqoddimah Risalah Ibn Abi Zaid al-Qoirawani oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamad Al-Abbad Al-Badr –hafidhohullah- hal 56-58. Semoga bermanfaat.

Ayat pertama:

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”

Ayat Alhamdulillahi Rabbil alamin di dalamnya tercakup atas berbagai jenis tauhid, yaitu Alhamdu liLLAH, di dalamnya terkandung tauhid uluhiyyah, karena penisbatan sebuah pujian (alhamdu) kepada Allah oleh seorang hamba adalah sebuah ibadah. Dan kata Rabbil alamin adalah penetapan tauhid rububiyyah, pada dasarnya Allah adalah Tuhan semesta alam, dan alam adalah segala sesuatu kecuali Allah, karena tidak ada di alam semesta ini kecuali pencipta dan ciptaan, dan Allah adalah Sang Pencipta, dan segala sesuatu selain San Pecipta adalah yang dicipta atau makhluk. Dan di antara nama-nama Allah adalah Ar-Rabb.

Dalam ayat ini Syaikh –hafidhohullah- menerangkan bahwa telah tercakup di dalamnya tauhid uluhiyyah, rububiyyah dan asma wa Sifat. Uluhiyyah dalam Alhamdu liLLAH, Rububiyyah dan Asma wa Sifat dalamRabbil alamin.

Ayat selanjutnya yaitu firman Allah:

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”

Ayat ini mengandung tauhid Asma wa Sifat, ar-Rahman dan ar-Rahim merupakan dua nama dari nama-nama Allah, dua nama tersebut menunjukkan atas sifat dari sifat-sifat Allah, yaitu sifat kasih sayang. Nama-nama Allah secara keseluruhan diambil dari kata musytaq, dan bukan dari kata jamid, dan setiap nama dari nama-nama Allah menunjukkan atas sifat dari sifat-sifat Allah.

Syaikh –hafidhahullah- menerengkan bahwa ar-Rahman dan ar-Rahim merupakan nama dari nama-nama Allah, maka secara jelas bahwa ayat ini mengandung tauhid asma wa sifat, ayat ini mengajari kita tauhid asma wa sifat. Diterangkan juga bahwa nama Allah diambil dari kata musytaq, dan bukan dari kata jamid, dalam bahasa arab, menurut asal kata dan pembentukannya, Isim atau Kata Benda terbagi dua:

1. Isim Jamid, yaitu Isim yang tidak terbentuk dari kata lain. Contoh الكرسي

2. Isim Musytaq, yaitu Isim yang dibentuk dari kata lain. Contoh الرحمان diambil dari رحم

Maka dalam hal ini pentingnya bahasa arab dalam memahami agama Islam.

Diterangkan juga oleh Syaikh bahwa setiap nama dari nama-nama Allah itu mengandung sifat dari sifat-sifat Allah. Maka nama Allah pasti mengandung sifat dan sifat Allah tidak mengandung nama Allah.

Ayat selanjutnya:

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“yang menguasai hari Pembalasan.”

Di dalamnya terdapat penetapan tauhid Rububiyah, yaitu bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- Raja/yang menguasai dunia dan akhirat, sedangkan pengkhususan yang merajai hari pembalasan, sebab Allah adalah yang berkuasa pada saat itu, dan sebab pada saat itu semua makhluk di alam semesta tunduk pada Rabb semesta alam yaitu Allah. Sebaliknya di dunia, didapati orang yang sombong yang mengaku paling berkuasa, semisal apa yang dikatakan oleh Fir’aun: “Aku adalah Rabb kalian yang paling tinggi”

Ayat berikutnya:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan”.

Dalam ayat ini terdapat penetapan tauhid Uluhiyah, sebab ayat ini berkenaan dengan penyembahan dan permintaan pertolongan yang mana hal tersebut merupakan bentuk-bentuk ibadab yang hanya ditujukan atau diperuntukkan bagi Allah semata. Dan pada ayat mengawalkan obyek pada kalimat yaitu إياك berfaedah pada pengkhususan, maknanya: kami mengkhususkan peribadatan dan permintaan tolong hanya kepada-Mu, dan kami tidak menyekutukan Engkau dengan sesuatupun.

Ayat berikutnya:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ (7

“Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Penetapan tauhid Uluhiyah, karena permohonan hidayah dari Allah adalah doa, dan Rasulullah saw bersabda: “Doa adalah ibadah”, permintaan hamba kepada Rabbnya dalam doa ini agar diberi hidayah kepada jalan yang lurus, jalannya para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang syahid, dan orang-orang yang shalih, yang mana mereka merupakan Ahlu Tauhid, dan memohon agar dijauhkan dari jalan yang dimurkai dan dijauhkan dari jalan mereka yang sesat, mereka yang kosong dari ketauhidan, melekat pada mereka kesyirikan kepada Allah dan beribadah kepada selain Allah.

Wallahu ta’ala a’lam

Sumber : majalahislami.com/

Thursday, May 20, 2010

Kisah Dhimam bin Tsa’labah

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, beliau mengatakan: Suatu saat ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, kemudian ada seorang lelaki yang datang dengan mengendarai seekor onta, lantas dia berhentikan ontanya itu di masjid lalu mengikatnya. Kemudian dia berkata, “Manakah di antara kalian yang bernama Muhammad?”. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk sandaran di antara mereka. Maka kami katakan, “Ini orangnya, lelaki yang berkulit putih dan sedang bersandar.” Lalu lelaki itu pun berkata kepada beliau, “Wahai Ibnu Abdil Muthallib?”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberkata kepadanya, “Ya, aku akan menyambut keinginanmu.” Kemudian lelaki itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku akan bertanya kepadamu yang mungkin terlalu mengusik dirimu dalam menjawab pertanyaan itu. Maka janganlah engkau menyimpan kemarahan kepadaku disebabkan hal itu.” Nabi berkata, “Tanyakanlah apa yang kira-kira tampak perlu bagimu.” Lalu dia bertanya, “Aku bertanya kepadamu dengan menyebut nama Rabbmu dan Rabb orang-orang sebelummu, apakah benar Allah mengutusmu kepada semua umat manusia?”. Beliau menjawab,“Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah yang memerintahkanmu supaya kami menunaikan sholat lima waktu dalam sehari semalam?”. Nabi menjawab, “Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah memerintahkanmu agar kami berpuasa pada bulan -Ramadhan- ini dalam setiap tahunnya?”. Nabi menjawab, “Allahumma, hal itu memang benar.” Lalu dia berkata, “Aku meminta kepadamu demi Allah, benarkah Allah memerintahkanmu untuk memungut sedekah/zakat ini dari kalangan orang kaya di antara kami lalu kamu bagikan kepada orang miskin di antara kami?”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allahumma, benar apa yang kamu ucapkan.” Lalu lelaki itu berkata, “Aku telah beriman kepada semua ajaran yang kamu bawa. Dan aku adalah utusan dari kaumku yang ada di belakangku. Namaku Dhimam bin Tsa’labah, salah seorang kerabat Bani Sa’d bin Bakr.” (HR. Bukhari [63] dan Muslim [12], lihat Fath al-Bari [1/182-183] dan Syarh Muslim [2/25-26])

Kisah ini mengandung faedah, di antaranya :

  1. Bolehnya seorang pemimpin duduk sambil bersandar di antara para pengikutnya. Kisah di atas menunjukkan kerendahan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak bersikap sombong sehingga mau untuk duduk-duduk bersama para sahabatnya (lihat Fath al-Bari [1/183]). Maka sudah semestinya bagi seorang pemimpin untuk duduk-duduk bersama bawahannya untuk mendengar permasalahan dan keluhan mereka. Aduhai, alangkah indah adab dan akhlak yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

  2. Yang dimaksud memberhentikan onta di masjid di dalam riwayat di atas adalah meletakkannya di pelataran masjid. Hal itu sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat Ahmad dan al-Hakim dari Ibnu Abbas yang bunyinya, “Maka dia pun memberhentikan ontanya di dekat pintu masjid dan mengikatnya lalu dia masuk -masjid-.” (lihat Fath al-Bari [1/184]). Hal ini -wallahu a’lam- mengisyaratkan bolehnya membuat tempat parkir kendaraan di halaman masjid. Bahkan, hal itu bisa jadi diperintahkan apabila ternyata dengan tidak adanya lahan khusus untuk parkir menyebabkan gangguan bagi masyarakat yang berlalu-lalang di sekitar masjid. Maka alangkah bijaknya para pembangun masjid yang tidak melupakan adanya tempat parkir khusus jama’ah di seputar masjid…

  3. Hendaknya seorang murid atau penuntut ilmu mengajukan pertanyaan kepada gurunya dengan cara yang baik dan santun. Hal itu sebagaimana yang dicontohkan oleh Dhimam yang dengan santun mengajukan permohonan maafnya sebelum bertanya perkara yang bisa jadi mengusik perasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hendaknya sang murid mengajukan pertanyaan tanpa terlalu berpanjang lebar. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu berkomentar mengenai kisah ini, “Aku belum pernah melihat orang yang lebih bagus dalam mengajukan pertanyaan dan lebih ringkas dalam menyampaikannya daripada Dhimam.” (lihat Fath al-Bari [1/184])

  4. Hadits ini dijadikan dalil oleh al-Hakim untuk menegaskan anjuran untuk mencari sanad yang lebih tinggi dalam istilah ilmu hadits. Karena Dhimam bin Tsa’labah dalam kisah ini sebenarnya sedang menanyakan apa-apa yang telah disampaikan kepadanya oleh utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau kirim kepada kaumnya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim. Maka Dhimam sangat ingin mendengar hal itu secara lagsung dari lisan Rasulshallallahu ‘alaihi wa sallam demi lebih memperkuat keyakinannya (lihat Fath al-Bari [1/185] dan Syarh Muslim [2/25]). Yang dimaksud sanad yang lebih tinggi adalah yang lebih dekat dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau lebih pendek jalurnya. Sanad yang lebih tinggi lebih utama karena lebih jauh dari kekeliruan dan kesalahpahaman. Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Sanad yang tinggi merupakan sunnah orang-orang yang terdahulu.” Bahkan beliau berkata, “Mencari ketinggian sanad itu merupakan bagian dari agama.” (lihat al-Hadits an-Nabawi, hal. 150-152). Saya katakan: Hal ini mengisyaratkan bahwa hendaknya kita berusaha untuk sebisa mungkin dekat dengan para ulama dan bimbingan mereka. Termasuk di dalamnya adalah dengan cara menggali ilmu dari murid-murid para ulama. Lihatlah, betapa banyak penyimpangan dan perselisihan yang timbul tatkala para penimba ilmu yang masih pemula tidak menggubris bimbingan para ulama besar mereka… Allahul musta’aan.

  5. Hadits ini juga merupakan hujjah/argumen yang sangat kuat untuk beramal dengan hadits ahad (lihat Fath al-Bari [1/186], Syarh Muslim [2/27]). Hadits ini juga menunjukkan wajibnya menerima hadits ahad dalam masalah akidah. Mengkhususkan bolehnya berhujjah dengan hadits ahad dalam masalah hukum saja -bukan untuk akidah- merupakan tindakan tanpa dalil dan perkara yang batil (lihat lebih lengkap dalam Muntaha al-Amani bi Fawa’id Mushtholah Hadits li al-Albani, hal. 83 dan sesudahnya)

  6. Bolehnya menisbatkan seseorang kepada kakeknya apabila kakeknya memang lebih terkenal daripada bapaknya (lihat Fath al-Bari [1/187]). Yang dimaksud adalah sebutan Ibnu Abdil Muthallib yang diucapkan oleh Dhimam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal, Abdul Muthallib adalah kakek Nabi bukan ayahnya.

  7. Bolehnya meminta orang lain untuk bersumpah dalam rangka menambah keyakinan dan untuk memperkuat penegasan suatu perkara (lihat Fath al-Bari [1/187])

  8. Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan bolehnya bersandar kepada bacaan seorang murid di hadapan gurunya yang biasa disebut dalam ilmu hadits sebagai qiro’ah ‘alal alim ataual-’ardh. Orang yang membaca di hadapan gurunya sedangkan gurunya membenarkan atau mendiamkannya itu sama hukumnya dengan orang mendengar hal itu langsung dari penuturan gurunya. Sufyan berkata, “Apabila dibacakan kepada seorang muhaddits maka tidak mengapa kamu katakan, ‘haddatsani’ -telah menuturkan kepadaku-.” Imam Malik dan Sufyan ats-Tsauri berkata, “Membaca di depan seorang alim dengan bacaan orang alim itu sendiri adalah sama.” (lihat Fath al-Bari [1/181-182], al-Hadits an-Nabawi, hal. 200-201)

  9. Hadits ini menunjukkan bahwa wajibnya mengerjakan sholat lima waktu itu berlaku secara berulang-ulang untuk setiap sehari semalam. Demikian pula, hadits ini menunjukkan bahwa kewajiban menjalankan puasa Ramadhan itu berlaku di setiap tahun (lihat Syarh Muslim[2/26])

  10. Hadits ini juga dijadikan dalil oleh para ulama untuk menyatakan bahwa orang-orang awam yang taklid adalah termasuk kaum beriman yang diterima keimanannya, selama mereka meyakini kebenaran tanpa tercampur dengan keragu-raguan (lihat Syarh Muslim [2/27]). Secara umum hukum taklid itu adalah boleh. Karena hal ini merupakan konsekuensi dari firman Allah (yang artinya), “Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43). Taklid diperbolehkan bagi orang yang tidak punya kemampuan untuk menggali kesimpulan hukum dari dalil. Adapun apabila dirinci, maka ada juga jenis taklid yang terlarang (lebih lengkap baca Ma’alim Ushul Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah, hal. 496 dst)

    WaLlahu Ta'ala a'lam

    sumber : abumushlih.com/

Pengertian Dosa Besar

Tanya :

Bolehkah kita memberi penilaian pada sebuah maksiat yang dulu belum pernah ada sebagai dosa besar?

Jawab:

Tidaklah diragukan bahwa dosa itu ada dua macam, dosa besar dan dosa kecil.

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” (QS an-Nisa’ : 31).

Namun para ulama berbeda pendapat tentang jumlah dosa besar. Ada yang berpendapat tujuh, tujuh puluh dan tujuh ratus. Ada pula yang mengatakan bahwa dosa besar adalah semua perbuatan yang dilarang dalam syariat semua para nabi dan rasul.

Pendapat yang paling kuat tentang pengertian dosa besar adalah segala perbuatan yang pelakunya diancam dengan api neraka, laknat atau murka Allah di akherat atau mendapatkan hukuman had di dunia. Sebagian ulama menambahkan perbuatan yang nabi meniadakan iman dari pelakunya, atau nabi mengataan ‘bukan golongan kami’ atau nabi berlepas diri dari pelakunya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menghunuskan pedang kepada kami, kaum muslimin, maka dia bukan golongan kami” (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menipu kami maka dia bukan golongan kami” (HR Muslim).

Mencuri adalah perbuatan yang memiliki hukuman had yaitu potong tangan maka muncuri adalah dosa besar. Zina juga memiliki hukuman had sehingga termasuk dosa besar. Membunuh juga dosa besar. Namimah atau adu domba juga dosa besar karena,

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang melakukan namimah itu tidak akan masuk surga” (HR Bukhari dan Muslim).

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (QS an Nisa’ : 10).

Dalam ayat ini ada ancaman neraka bagi orang yang memakan harta anak yatim sehingga perbuatan ini hukumnya dosa besar.

[Disarikan dari Ajwibah Mufidah an Masa-il Adidah karya Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi hal 1-4].

Sumber : Ustadzaris.com/

Monday, May 10, 2010

Do'a-do'a yang berkaitan dengan Hujan

Doa meminta Hujan

اَللَّهُمَّ أَسْقِنَا غَيْثًا مُغِيْثًا مَرِيْئًا مَرِيْعًا، نَافِعًا غَيْرَ ضَارٍّ، عَاجِلاً غَيْرَ آجِلٍ.

“Ya Allah! Berilah kami hujan yang merata, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman, bermanfaat, tidak membahayakan. Kami mohon hujan secepatnya, tidak ditunda-tunda.”

HR. Abu Dawud 1/303, dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/216.

اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا، اَللَّهُمَّ أَغِثْنَا.

“Ya Allah! Berilah kami hujan. Ya Allah, turunkan hujan pada kami. Ya Allah! Hujanilah kami,”

HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/613.

اَللَّهُمَّ اسْقِ عِبَادَكَ وَبَهَائِمَكَ، وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ، وَأَحْيِي بَلَدَكَ الْمَيِّتَ.

“Ya Allah! Berilah hujan kepada hamba-hambaMu, ternak-ternakMu, beri-lah rahmatMu dengan merata, dan suburkan tanahMu yang tandus.”

HR. Abu Dawud 1/305 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 1/218.

Doa ketika hujan turun

اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا.

.“Ya Allah! Turunkanlah hujan yang bermanfaat (untuk manusia, tanaman dan binatang).”

HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 2/518.

Doa ketika hujan mereda

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ.

Kita diberi hujan karena karunia dan rahmat Allah.”

HR. Al-Bukhari 1/205, Muslim 1/83.

Doa agar hujan berhenti

اَللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اَللَّهُمَّ عَلَى اْلآكَامِ وَالظِّرَابِ، وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ.

“Ya Allah! Hujanilah di sekitar kami, jangan kepada kami. Ya, Allah! Berilah hujan ke daratan tinggi, beberapa anak bukit perut lembah dan beberapa tanah yang menumbuhkan pepohonan.”

HR. Al-Bukhari 1/224 dan Muslim 2/614.

Doa ketika ada angin kencang

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan angin ini, dan aku berlindung kepadaMu dari kejelekannya.”

HR. Abu Dawud 4/326, Ibnu Majah 2/1228, dan lihatlah kitab Shahih Ibnu Majah 2/305.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ خَيْرَهَا وَخَيْرَ مَا فِيْهَا وَخَيْرَ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا وَشَرِّ مَا أُرْسِلْتَ بِهِ.

“Ya Allah! Sesungguhnya aku mohon kepadaMu kebaikan angin (ribut ini), kebaikan apa yang di dalamnya dan kebaikan tujuan angin dihembuskan. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan angin ini, kejahatan apa yang di dalamnya dan kejahatan tujuan angin dihembuskan.”

HR. Muslim 2/616 dan Al-Bukhari 4/76.

Doa ketika ada halilintar

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمِدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ.

“Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memujiNya, begitu juga para malaikat, karena takut kepadaNya.”

Al-Muwaththa’ 2/992. Al-Albani berkata: Hadits di atas mauquf yang shahih sanadnya.

Sumber : Kitab Hisnul Muslim, karya Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, penerbit Yayasan Al-Shofwa, Jakarta

Sunday, May 9, 2010

Nabi Tidak Pernah Bosan Beristighfar

Rasul dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar dan bertaubat padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah,

إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا (1) لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata , supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni’mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.” (Qs. Al Fath: 1-2)


Dalam kitab shohih, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ . يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa shalat sehingga kakinya pecah-pecah. Kemudian aku mengatakan kepada beliau, ‘Wahai rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur.’” (HR. Muslim no. 7304)

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Inilah kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seorang pun tidak ada yang menyamainya. Tidak ada dalam satu hadits shohih pun yang menceritakan tentang balasan amalan kepada selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni. Inilah yang menunjukkan kemuliaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala perkara ketaatan, kebaikan dan keistiqomahan yang tidak didapati oleh manusia selain beliau, baik dari orang yang terdahulu maupun orang yang belakangan. Beliaulah manusia yang paling sempurna secara mutlak dan beliaulah pemimpin (sayid) seluruh manusia di dunia dan akhirat.”

Walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni, namun beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar di setiap waktu. Para sahabat telah menghitung dalam setiap majelisnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat paling banyak beristigfar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً

“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim)

Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ فِى لِسَانِى ذَرَبٌ عَلَى أَهْلِى لَمْ أَعْدُهُ إِلَى غَيْرِهِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-

“Dulu lisanku biasa berbuat keji kepada keluargaku. Namun, aku tidaklah menganiaya yang lainnya. Kemudian aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيْنَ أَنْتَ مِنَ الاِسْتِغْفَارِ يَا حُذَيْفَةُ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ

“Mana istigfarmu, wahai Hudzaifah? Sesungguhnya aku selalu beristigfar kepada Allah setiap hari sebanyak 100 kali dan aku juga bertaubat kepada-Nya.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sabda Nabi ‘…إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ’ adalah shohih lighoirihi yaitu shohih namun dilihat dari jalur lainnya yang lebih kuat atau semisal dengannya. Sedangkan sanad hadits ini dho’if)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ

“Tidaklah aku berada di pagi hari (antara terbit fajar hingga terbit matahari) kecuali aku beristigfar pada Allah sebanyak 100 kali.” (HR. An Nasa’i. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani di Silsilah Ash Shohihah no. 1600)

Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa jika kami menghitung dzikir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis, beliau mengucapkan,

رَبِّ اغْفِرْ لِى وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

‘Robbigfirliy wa tub ‘alayya, innaka antat tawwabur rohim’ [Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang] sebanyak 100 kali. (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 556)

Dan bacaan istighfar yang paling sempurna adalah penghulu istighfar (sayyidul istighfar) sebagaimana yang terdapat dalam shohih Al Bukhari dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Penghulu istighfar adalah apabila engkau mengucapkan,

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta [Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau].” (HR. Bukhari no. 6306)

Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas,

وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ »

“Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga.”

Hadits sayyidul istigfar ini meliputi makna taubat dan terdapat pula hak-hak keimanan. Di dalam hadits ini juga terkandung kemurnian ibadah dan kesempurnaan ketundukan serta perasaan sangat butuh kepada Allah. Sehingga bacaan dzikir ini melebihi bacaan istigfar lainnya karena keutamaan yang dimilikinya. –Semoga kita termasuk orang yang selalu merutinkannya di setiap pagi dan sore-

Bacaan istigfar lainnya adalah sebagaimana terdapat dalam shohih Bukhari dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam(ketika menjelang kematiannya) sedang bersandar padanya. Lalu beliau mengucapkan,

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى وَأَلْحِقْنِى بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى

“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang sholih.” (HR. Bukhari no. 5674. Lihat Al Muntaqho Syar Al Muwatho’)

Jadi lihatlah kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setiap waktunya selalu diisi dengan istighfar bahkan sampai akhir hayat hidupnya pun beliau tidak lepas dari amalan tersebut. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengakhiri amalan-amalan sholihnya seperti shalat, haji, shalat malam dengan istigfar, beliau juga mengakhiri hidupnya dengan istigfar.

Saudaraku… Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah dijamin dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni, bagaimana lagi dengan kita yang tidak dijamin seperti itu[?] Sungguh, kita sebenarnya yang lebih pantas untuk bertaubat dan beristighfar setiap saat karena dosa kita yang begitu banyak dan tidak pernah bosan-bosannya kita lakukan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,

يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ

“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” (HR. Muslim no. 6737)

Semoga Allah mengaruniakan kita untuk selalu mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan kepada kita akhir hidup yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal (www.rumaysho.com)