Monday, July 26, 2010

Kisah Abu Dzar dan Ummu Dzar

Syahdan, ketika Abu Dzar tengah menghadapi kematiannya, Ummu Dzar menangis. Abu Dzar bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?” Ummu Dzar menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis. Engkau wahai Abu Dzar, wafat di tengah padang sahara, sementara aku tidak memiliki kain yang cukup untuk menyelimuti tubuhmu.” Abu Dzar bergumam lembut, “Jangan menangis Istriku. Terimalah kabar gembira, karena aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, ‘Sungguh akan ada seseorang diantaramu yang wafat ditengah padang sahara, disaksikan oleh serombongan kecil kaum muslimin.’ Masing-masing dari yang mendengar hadits tersebut pada saat itu, telah meninggal di sebuah perkampungan atau ditengah orang ramai. Hanya aku saja yang tersisa, yang tampaknya akan meninggal ditengah sahara itu. Sungguh aku tidak berbohong dan tidak akan mungkin dibohongi. Kini, tataplah jalan didepan matamu.” Ummu Dzar berkata, “Tetapi orang-orang yang berhaji sudah pergi berlalu, dan jalannya tak bisa ditempuh lagi.” Abu Dzar berkata, “Cobalah perhatikan jalannya baik-baik.”

Ummu Dzar menuturkan, “Akupun mendatangi sebuah gundukan tanah, lalu mencoba mencari-cari jalan. Akhirnya aku terpaksa kembali dan merawatya lagi. Saat aku dalam kondisi demikian, tiba-tiba dihadapanku terlihat sekelompok lelaki yang sedang berada diatas kendaraan mereka, dari kejauhan nyaris mirip dengan seekor burung garuda besar. Mereka menuju kearahku, hingga berdiri tepat dihadapanku. Mereka bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai hamba Allah?’ Aku menjawab, ‘Ada seorang muslim yang akan meninggal dan memerlukan bantuan kalian untuk mengkafaninya.’ Mereka bertanya lagi, ‘Siapa lelaki itu?’ Aku menjawab, ‘Abu Dzar’. Mereka berntanya lagi, ‘Abu Dzar shahabat Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam?’ Aku menjawab lagi, ‘Tentu saja’ Ummu Dzar melanjutkan, ‘Merekapun menjawab ayah dan ibu mereka sebagai tebusan, lalu dengan gerak cepat mengurusnya masuk menemuinya. Abu Dzar menyambutnya dan berkata, ‘Aku pernah mendengar Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, ‘Sungguh akan ada seorang diantaramu yang wafat di tengah sahara, disaksikan oleh serombongan kaum muslimin.’ Masing-masing dari yang mendengar hadits itu telah meninggal di sebuah perkampungan atau ditengah orang ramai. Yah, akulah yang meninggal ditengah sahara itu. Kalian dengar, ‘Seandainya aku memiliki secarik kain yang cukup untuk menyelimuti diriku, atau untuk menyelimuti tubuh istriku, pasti aku gunakan kainku atau kain istriku itu. Kalian dengar, bahwa aku jadikan kalian sebagai saksi, aku tak mengizinkan seorangpun diantara kalian mengkafaniku, kalau ia seorang penguasa, pengawas, kurir pengantar surat, atau seorang pemuka.” Ternyata semua orang yang hadir disitu pasti memiliki salah satu dari beberapa kriteria yang disebutkan oleh beliau, kecuali seorang pemuda anshar. Pemuda itu berkata, “Wahai pamanku, biar aku yang mengkafanimu, karena aku tidak memiliki satu pun kedudukan yang engkau sebutkan. Aku akan mengkafanimu dengan sorbanku ini dan kedua baju didalam aibah-ku ini, hasil tenunan ibuku sendiri yang sengaja dijahitnya untuk diriku.” Maka pemuda anshar itupun mengkafaninya dalam rombongan yang ikut menyaksikannya, diantara mereka terdapat Hujjar bin al-Abdur dan Malik bin al-Asytar. Mereka adalah rombongan kafilah yang kebetulan kesemuanya keturunan Yaman.

Maha suci Allah! Begitu hebatnya kepribadian seorang Abu Dzar dan tak kalah hebatnya kesetiaan seorang Ummu Dzar.
Apakah Ummu Dzar seorang wanita yang sengsara? Karena, sedemikian hebat derita yang dia rasakan, termasuk harus kehilangan suaminya yang tercinta, ditengah padang sahara? Tidak, sama sekali tidak. Ia adalah wanita pilihan. Justru keteduhan hatinya dan kesetiaannya yang sedemikian hebat, yang mendorongnya untuk mampu bertahan sebagai istri seorang Abu Dzar. Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka berdua. (Dari Risalah Abu Dzar oleh Khalid Abu Shalih)

Kisah mereka adalah kisah dua insan yang terlibat percintaan di jalan Allah. Cinta mereka terbalut oleh nuansa iman yang begitu kental, yang menyebabkan Ummu Dzar secara tulus mau menemani suaminya menghabiskan usia dengan mengasingkan diri. Keterasingan bukan hal yang menakutkan bagi Ummu Dzar, selama itu dihabiskan bersama suaminya tercinta, Abu Dzar, Shahabat agung yang begitu memukau kepribadiannya.

Tambahan Dari Abu Yusuf ,
Faidah-Faidah yang dapat kita ambil dari kisah ini :

  1. Kesetiaan dan pengabdian Ummu Dzar dalam merawat dan menemani Suaminya hingga Akhir hayat.
  2. Ketabahan Abu Dzar dalam menghadapi maut.
  3. Perkataan Abu Dzar tidak mengindikasikan dia tahu yang ghaib akan tetapi dia mengimani apa yang disabdakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam kepada para shahabat termasuk dirinya.
  4. Abu Dzar seorang Shahabat yang terkenal sangat Wara’ atau sangat menjaga dirinya dari Harta yang Syubhat (Tidak jelas) sehingga kain kafanpun dia memilih dari sang pemuda yang jauh dari hal-hal yang meragukan.
  5. Salah satu keutamaan Abu Dzar, sehingga dia disebut dalam khabar dari Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam, sebagaimana Hudzaifah ibnul Yaman yang diberitahu oleh Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam nama-nama orang munafik.

    Wallahu Ta’ala a’lam bish-showab...

Sumber : kitab “Sutra Romantika, meneladani perilaku Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam yang Romantis agar pasutri selalu Harmonis” oleh Ustadz Abu Umar Basyir



Sunday, July 25, 2010

Hukum puasa setelah pertengahan syaban


Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. 

Sebagian orang menganggap bahwa puasa setelah pertengahan sya'ban tidak dibolehkan karena ada beberapa hadits yang melarang ini. Tulisan kali ini akan meninjau lebih jauh bagaimanakah yang tepat dalam masalah ini. Semoga bermanfaat.

Larangan Puasa Setelah Pertengahan Sya'ban

Ada beberapa lafazh yang membicarakan larangan puasa setelah pertengahan bulan Sya’ban. 
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 738 dan Abu Daud no. 2337)

Dalam lafazh lain,


إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ صَوْمَ حَتَّى يَجِىءَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tidak ada puasa sampai dating Ramadhan.” (HR. Ibnu Majah no. 1651)

Dalam lafazh yang lain lagi,


إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنِ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ

“Jika tersisa separuh bulan Sya’ban, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga dating bulan Ramadhan.” (HR. Ahmad) 

Sebenarnya para ulama berselisih pendapat dalam menilai hadits-hadits di atas dan hukum mengamalkannya.

Di antara ulama yang menshahihkan hadits di atas adalah At Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al Hakim, Ath Thahawiy, dan Ibnu ‘Abdil Barr. Di antara ulama belakangan yang menshahihkannya adalah Syaikh Al Albani rahimahullah.

Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits yang mungkar dan hadits mungkar adalah di antara hadits yang lemah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ’Abdurrahman bin Mahdiy, Imam Ahmad, Abu Zur’ah Ar Rozi, dan Al Atsrom. Alasan mereka adalah karena hadits di atas bertentangan dengan hadits,


لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa.” (HR. Muslim no. 1082). Jika dipahami dari hadits ini, berarti boleh mendahulukan sebelum ramadhan dengan berpuasa dua hari atau lebih.

Al Atsrom mengatakan,“Hadits larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban bertentangan dengan hadits lainnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri berpuasa di bulan Sya’ban seluruhnya (mayoritasnya) dan beliau lanjutkan dengan berpuasa di bulan Ramadhan. Dan hadits di atas juga bertentangan dengan hadits yang melarang berpuasa dua hari sebelum Ramadhan. Kesimpulannya, hadits tersebut adalah hadits yang syadz, bertentangan dengan hadits yang lebih kuat.” 

At Thahawiy sendiri mengatakan bahwa hadits larangan berpuasa setelah separuh Sya’ban adalah hadits yang mansukh (sudah dihapus). Bahkan Ath Thohawiy menceritakan bahwa telah ada ijma’ (kesepakatan ulama) untuk tidak beramal dengan hadits tersebut. Dan mayoritas ulama memang tidak mengamalkan hadits tersebut.

Namun ada pendapat dari Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah, juga hal ini mencocoki pendapat sebagian ulama belakangan dari Hambali. Mereka mengatakan bahwa larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa senin-kamis), boleh berpuasa ketika itu, menurut pendapat ini. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 244-245)

Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah tidak ada masalah puasa setelah pertengahan sya'ban karena hadits larangan tersebut termasuk hadits lemah, apalagi jika punya kebiasaan puasa.

Puasa Satu atau Dua Hari Sebelum Ramadhan

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim no. 1082)

Berdasarkan keterangan dari Ibnu Rajab rahimahullah, berpuasa di akhir bulan Sya’ban ada tiga model:

Pertama, jika berniat dalam rangka berhati-hati dalam perhitungan puasa Ramadhan sehingga dia berpuasa terlebih dahulu, maka seperti ini jelas terlarang.

Kedua, jika berniat untuk berpuasa nadzar atau mengqodho puasa Ramadhan yang belum dikerjakan, atau membayar kafaroh (tebusan), maka mayoritas ulama membolehkannya.

Ketiga, jika berniat berpuasa sunnah semata, maka ulama yang mengatakan harus ada pemisah antara puasa Sya’ban dan Ramadhan melarang hal ini walaupun itu mencocoki kebiasaan dia berpuasa, di antaranya adalah Al Hasan Al Bashri. Namun yang tepat dilihat apakah puasa tersebut adalah puasa yang biasa dia lakukan ataukah tidak sebagaimana makna tekstual dari hadits. Jadi jika satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah kebiasaan dia berpuasa –seperti puasa Senin-Kamis-, maka itu dibolehkan. Namun jika tidak, itulah yang terlarang. Pendapat inilah yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan Al Auza’i. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 257-258)

Kenapa ada larangan mendahulukan puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan?

Pertama, jika berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan adalah dalam rangka hati-hati, maka hal ini terlarang agar tidak menambah hari berpuasa Ramadhan yang tidak dituntunkan.

Kedua, agar memisahkan antara puasa wajib dan puasa sunnah. Dan memisahkan antara amalan yang wajib dan sunnah adalah sesuatu yang disyariatkan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyambungkan shalat wajib dengan shalat sunnah tanpa diselangi dengan salam atau dzikir terlebih dahulu. (Lihat Lathoif Al Ma’arif, 258-259)

Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com


Monday, July 19, 2010

Doa yang berkaitan dengan Perjalanan atau Safar

Doa naik Kendaraan

بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْحَمْدُ لِلَّهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ.

“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya. Dan sesung-guhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Maha Suci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesung-guhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”

HR. Abu Dawud 3/34, At-Tirmidzi 5/501, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 3/156.

Doa Bepergian

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، {سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ} اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِيْ سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِي السَّفَرِ وَالْخَلِيْفَةُ فِي اْلأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءِ الْمُنْقَلَبِ فِي الْمَالِ وَاْلأَهْلِ. وَإِذَا رَجَعَ قَالَهُنَّ وَزَادَ فِيْهِنَّ: آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.

.

“Allah Maha Besar (3x). Maha Suci Tuhan yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, sedang sebelumnya kami tidak mampu. Dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami (di hari Kiamat). Ya Allah! Sesungguh-nya kami memohon kebaikan dan taqwa dalam bepergian ini, kami mohon perbuatan yang meridhakanMu. Ya Allah! Permudahlah perjalanan kami ini, dan dekatkan jaraknya bagi kami. Ya Allah! Engkaulah teman dalam bepergian dan yang mengurusi keluarga(ku). Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kelelahan dalam bepergian, pemandangan yang menyedihkan dan perubahan yang jelek dalam harta dan keluarga.

HR. Muslim 2/998.

Apabila kembali, doa di atas dibaca, dan ditambah: “Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Tuhan kami.”

Doa masuk Desa atau Kota

اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَمَا أَظْلَلْنَ، وَرَبَّ اْلأَرَضِيْنَ السَّبْعِ وَمَا أَقْلَلْنَ، وَرَبَّ الشَّيَاطِيْنَ وَمَا أَضْلَلْنَ، وَرَبَّ الرِّيَاحِ وَمَا ذَرَيْنَ. أَسْأَلُكَ خَيْرَ هَذِهِ الْقَرْيَةِ وَخَيْرَ أَهْلِهَا، وَخَيْرَ مَا فِيْهَا، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ أَهْلِهَا وَشَرِّ مَا فِيْهَا.

“Ya Allah, Tuhan tujuh langit dan apa yang dinaunginya, Tuhan penguasa tujuh bumi dan apa yang di atasnya, Tuhan yang menguasai setan-setan dan apa yang mereka sesatkan, Tuhan yang menguasai angin dan apa yang diterbangkannya. Aku mohon kepadaMu kebaikan desa ini, kebaikan penduduk-nya dan apa yang ada di dalamnya. Aku berlindung kepadaMu dari kejelekan desa ini, kejelekan penduduknya dan apa yang ada di dalamnya.”

HR. Al-Hakim, menurut pendapatnya, hadits tersebut adalah sahih. Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya 2/100, Ibnus Sunni, no. 524. Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrij Adzkar 5/154: “Hadits tersebut ada-lah hasan.” Bin Baz berkata: Hadits itu diriwayatkan pula oleh An-Nasai dengan sanad yang hasan. Lihat Tuhfatul Akhyar, hal. 37.

Doa masuk Pasar

لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ، بِيَدِهِ الْخَيْرُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرُ.

“Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya. BagiNya kerajaan, bagiNya segala pujian. Dia-lah Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan. Dia-lah Yang Hidup, tidak akan mati. Di tanganNya kebaikan. Dia-lah Yang Ma-hakuasa atas segala sesuatu.”

HR. At-Tirmidzi 5/291, Al-Hakim 1/538, dan Al-Albani menyatakan, hadits tersebut hasan dalam Shahih Ibnu Majah 2/21 dan Shahih At-Tirmidzi 2/152.

Doa apabila kendaraan tergelincir

بِسْمِ اللهِ.

“Dengan nama Allah.”

HR. Abu Dawud 4/296 dan Al-Albani menyata-kan, hadits tersebut shahih dalam Shahih Abi Dawud 3/941.

Doa Musafir kepada orang yang di tinggalkan

أَسْتَوْدِعُكُمُ اللهَ الَّذِيْ لاَ تَضِيْعُ وَدَائِعُهُ.

“Aku menitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan hilang titipan-Nya.”

HR. Ahmad 2/403, Ibnu Majah 2/943, dan lihat Shahih Ibnu Majah 2/133.

Doa orang yang Mukim kepada Musafir

أَسْتَوْدِعُ اللهَ دِيْنَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيْمَ عَمَلِكَ.

“Aku menitipkan agamamu, amanatmu dan perbuatanmu yang terakhir kepada Allah.”

HR. At-Tirmidzi 2/7, At-Tirmidzi 5/499, dan lihat Shahih At-Tirmidzi 2/155.

زَوَّدَكَ اللهُ التَّقْوَى، وَغَفَرَ ذَنْبَكَ، وَيَسَّرَ لَكَ الْخَيْرَ حَيْثُ مَا كُنْتَ.

“Semoga Allah memberi bekal taqwa kepadamu, mengampuni dosamu dan memudahkan kebaikan kepadamu di mana saja kamu berada.”

HR. At-Tirmidzi, lihat Shahih At-Tirmidzi 3/155.

Sumber : Kitab “Hisnul Muslim, Kumpulan doa dan Dzikir dari Al-Quran dan As-sunnah” karya syaikh Dr. Sa’id bin Wahf Al-Qahthani.

Sunday, July 18, 2010

Bakti Kepada Orang Tua

Terdapat banyak ayat yang mendudukkan ridha orang tua setelah ridha Allah dan keutamaan berbakti kepada orang tua adalah sesudah keutamaan beriman kepada Allah. Allah berfirman yang artinya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia kepada dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

(QS. Lukman: 14). Lihat pula QS. al-Isra 23-24, an-Nisa: 36, al-An’am: 151, al-Ankabut: 08.

Lima kriteria yang menunjukkan bentuk bakti seorang anak kepada kedua orang tuanya:

Pertama, tidak ada komentar yang tidak mengenakkan dikarenakan melihat atau tercium dari kedua orang tua kita sesuatu yang tidak enak. Akan tetapi memilih untuk tetap bersabar dan berharap pahala kepada Allah dengan hal tersebut, sebagaimana dulu keduanya bersabar terhadap bau-bau yang tidak enak yang muncul dari diri kita ketika kita masih kecil. Tidak ada rasa susah dan jemu terhadap orang tua sedikit pun.

Kedua, tidak menyusahkan kedua orang tua dengan ucapan yang menyakitkan.

Ketiga, mengucapkan ucapan yang lemah lembut kepada keduanya diiringi dengan sikap sopan santun yang menunjukkan penghormatan kepada keduanya. Tidak memanggil keduanya langsung dengan namanya, tidak bersuara keras di hadapan keduanya. Tidak menajamkan pandangan kepada keduanya (melotot) akan tetapi hendaknya pandangan kita kepadanya adalah pandangan penuh kelembutan dan ketawadhuan. Allah berfirman yang artinya, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra: 24)

Urwah mengatakan jika kedua orang tuamu melakukan sesuatu yang menimbulkan kemarahanmu, maka janganlah engkau menajamkan pandangan kepada keduanya. Karena tanda pertama kemarahan seseorang adalah pandangan tajam yang dia tujukan kepada orang yang dia marahi.

Keempat, berdoa memohon kepada Allah agar Allah menyayangi keduanya sebagai balasan kasih sayang keduanya terhadap kita.

Kelima, bersikap tawadhu’ dan merendahkan diri kepada keduanya, dengan menaati keduanya selama tidak memerintahkan kemaksiatan kepada Allah serta sangat berkeinginan untuk memberikan apa yang diminta oleh keduanya sebagai wujud kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya.

Perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua itu bersifat umum, mencakup hal-hal yang disukai oleh anak ataupun hal-hal yang tidak disukai oleh anak. Bahkan sampai-sampai al-Qur’an memberi wasiat kepada para anak agar berbakti kepada kedua orang tuanya meskipun mereka adalah orang-orang yang kafir.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku lah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Lukman: 15)

Syarat Menjadi Anak Berbakti

Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi, agar seorang anak bisa disebut sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya:

Satu, lebih mengutamakan ridha dan kesenangan kedua orang tua daripada ridha diri sendiri, isteri, anak, dan seluruh manusia.

Dua, menaati orang tua dalam semua apa yang mereka perintahkan dan mereka larang baik sesuai dengan keinginan anak ataupun tidak sesuai dengan keinginan anak. Selama keduanya tidak memerintahkan untuk kemaksiatan kepada Allah.

Tiga, memberikan untuk kedua orang tua kita segala sesuatu yang kita ketahui bahwa hal tersebut disukai oleh keduanya sebelum keduanya meminta hal itu. Hal ini kita lakukan dengan penuh kerelaan dan kegembiraan dan selalu diiringi dengan kesadaran bahwa kita belum berbuat apa-apa meskipun seorang anak itu memberikan hidup dan hartanya untuk kedua orang tuanya.

Keutamaan Menjadi Anak yang Berbakti

1. Termasuk Amal yang Paling Allah Cintai

Dari Abdullah bin Mas’ud, “Aku bertanya kepada Rasulullah, “Amal apakah yang paling Allah cintai.” Beliau bersabda, “Shalat pada waktunya,” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya, “Kemudian apa?” Nabi bersabda, “Berjihad di jalan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Masuk Surga

Dari Abu Hurairah, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Celaka, celaka, dan celaka.” Ada yang bertanya, “Siapa dia wahai Rasulullah?” Nabi bersabda, “Dia adalah orang yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya dalam usia tua, akan tetapi kemudian dia tidak masuk surga.” (HR Muslim)

Dari Muawiyah bin Jahimah dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, aku menemui Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermusyawarah dengan beliau tentang jihad di jalan Allah. Nabi bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” “Ya,” kataku. Nabi pun bersabda, “Selalulah engkau berada di dekat keduanya. Karena sesungguhnya surga berada di bawah kaki keduanya.” (HR. Thabrani, al-Mundziri mengatakan sanadnya jayyid)

3. Panjang Umur dan Bertambah Rezeki

Dari Salman, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa dan tidak ada yang bisa menambah umur kecuali amal kebaikan.” (HR. Turmudzi dan dihasankan oleh al-Albani)

Anas mengatakan, “Barang siapa yang ingin diberi umur dan rezeki yang panjang maka hendaklah berbakti kepada kedua orang tuanya dan menjalin hubungan dengan karib kerabatnya.” (HR. Ahmad)

4. Semua Amal Shalih Diterima dan Kesalahan-Kesalahan Diampuni

Allah ta’ala berfirman: “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah . Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa, ‘Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai, berilah kebaikan kepadaku dengan kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’. Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka.” (QS al-Ahqaf: 15-16)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu ada seorang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamlalu berkata, “Sesungguhnya aku melakukan sebuah dosa yang sangat besar. Adakah cara taubat yang bisa ku lakukan?” Nabi bertanya, “Apakah engkau masih memiliki ibu.”“Tidak” jawabnya. Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau memiliki bibi dari pihak ibu.” “Ya,” jawabnya. Nabi bersabda, “Berbaktilah kepada bibimu.” (HR. Tirmidzi)

5. Mendapatkan Ridha Allah

Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ridha Allah tergantung ridha kedua orang tua dan murka Allah tergantung murka kedua orang tua.”(HR. Thabrani dan dishahihkan oleh al-Albani)

6. Diterima Doanya dan Hilangnya Kesusahan

Diantara dalilnya adalah kisah Ashabul Ghar, yaitu tiga orang yang tertangkap dalam goa. Salah satu diantaraa mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tuanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Lebih Utama Daripada Hijrah dan Jihad

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash ada seorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku hendak membaiatmu untuk berhijrah dan berjihad dalam rangka mengharap pahala dari Allah.” Nabi bertanya kepada keduanya, “Apakah diantara kedua orang tuamu ada yang masih hidup.” “Ya, kedua-duanya masih hidup.” Jawabnya. Nabi bertanya, “Engkau mengharap pahala dari Allah?” “Ya.” Jawabnya. Nabi bersabda,“Pulanglah, temui keduanya dan sikapilah keduanya dengan baik.” (HR. Muslim)

8. Orang Tua Ridha dan Mendoakan

Jika seorang anak berbakti kepada kedua orang tuanya, tentu keduanya akan senang, dan pertanda ridhanya kepadanya. Kemudian mendoakannya, sedangkan doa orang tua itu pasti terjawab.

Ada tiga orang yang doanya mustajab dan hal tersebut tidak perlu diragukan lagi. Tiga orang tersebut adalah doa orang yang teraniaya. Doa orang yang sedang bepergian dan doa orang tua untuk kebaikan anaknya. (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh al-Abani)

9. Anak Kita Akan Berbakti Kepada Kita

Sikap bakti adalah hutang, maka sebagaimana kita berbakti kepada orang tua kita, maka anak kita pun akan berbakti kepada kita.

10. Tidak Akan Menyesal

Seorang anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya akan merasakan penyesalan ketika keduanya sudah meninggal dunia dan belum sempat berbakti.

11. Dipuji Banyak Orang

Bakti kepada kedua orang tua adalah sifat yang terpuji dan orang yang memiliki sifat ini pun akan mendapatkan pujian. Kisah Uwais al-Qorni adalah diantara dalil tentang hal ini.

12. Merupakan Sifat Para Nabi

Tentang Yahya ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” (QS. Maryam: 14)

Tentang Isa ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.” (QS. Maryam: 32)

Tentang Ismail ‘alaihis salam Allah ta’ala berfirman, “Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS. ash-Shaffat: 102)

Wallahu ta’ala a’lam

Penulis: Ustadz Aris Munandar
Sumber: Kumpulan Tulisan Ustadz Aris Munadar
Artikel www.muslimah.or.id

Thursday, July 15, 2010

Do’a Memohon Akhlak Mulia

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh sholallahu ‘alayhi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:

,أَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ لِأَحْسَنِ الأَخْلَاقِ, فَإِنَّهُ لَا يَهْدِيْ لِأَحْسَنِهَا إِلَّاأَنْتَ

وَاصْرِفْ عَنِّيْ سَيِّئَهَالَايَصْرِفُ عَنِّيْ سَيِّئَهَاإِلَّاأَنْتَ

Ya Allah, tunjukkanlah aku pada akhlak yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya Allah, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu menjauhkannya dariku selain Engkau.”

(HR. Muslim 771, Abu Dawud 760, Tirmidzi 3419)

Beberapa Faidah :

Akhlak menurut bahasa artinya karakter, perilaku dan budi pekerti. Sedangkan menurut istilah, akhlak mulia adalah menghiasi diri dengan kebaikan dan menahan diri dari kejelekan. Dan kebaikan itu sendiri harus sesuai dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Hadist ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai surit taulan bagi seluruh umat ini mempunyai karakter dan budi pekerti Robbani yang agung. Alloh subhanahu wa ta’ala berfiman:

وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.”

(QS. Al-Qolam [68]: 04)

Diantara keutamaan akhlak mulia adalah sebagaimana disebutkan oleh Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

Tidak ada yang lebih berat timbangan orang yang beriman pada hari kiamat dibandingkan dengan akhlak mulia. Dan sesungguhnya Alloh membenci orang yang berbuat jelek dalam bicara. (HR. at-Tirmidzi 2002, Ahmad 6/451, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah 876).

Berkata Syaikh Sholih bin Thoha Abdul Wahid di dalam kitab Al-jami’ fid du’ain nafi’, hlm. 466-467 : “Diantara sebab Islam memerintahkan berakhlak mulia adalah :

1. Akhlak mulia bisa menjadikan seseorang termasuk kekasih Alloh. Dengan demikian, jika ia berdo’a niscaya akan dikabulkan do’anya dan tidak mendapatkan adzab.

2. Akhlak mulia bisa menambah berat timbangan amal pada hari kiamat kelak.

3. Akhlak mulia sebagai jalan menuju surga.

4. Akhlak mulia dapat meninggikan derajat seseorang di surga.

5. Akhlak mulia bisa menjadikannya teman dekat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pada hari kiamat.

6. Akhlak mulia bisa menjadikan pelakunya termasuk orang-orang mukmin yang paling mulia.

Sumber: Ust. Mukhlis Abu Dzar, Majalah Al-Mawaddah, Edisi 4 Tahun Ke-3, hal. 40

Sunday, July 11, 2010

Larangan Mendahului Puasa Ramadhan

عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: لا تقدموا رمضان بصوم يوم، ولا يومين، إلا رجل كان يصوم صوما، فليصمه

“Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, ‘Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda, ‘janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari kecuali seseorang yang sebelumnya sudah melakukan puasa tertentu, maka hendaklah dia tetap berpuasa’.”

Penjelasan Lafadz :

Laa Tuqaddamu dengan menghilangkan ta’ mudhara’ah, karena aslinya la tataqaddamu.

Makna Global :

Pembuat syariat yang bijaksana ingin membedakan antara ibadah dengan kebiasaan, ingin membedakan ibadah fardhu dengan ibadah sunnah, sehingga benar-benar tampak perbedaannya.

Karena itulah beliau melarang mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari. Hendaklah seseorang tidak berpuasa sebelumnya, agar dia dapat mempersiapkan diri unruk puasa Ramadhan, kecuali orang yang memang sudah mempunyai kebiasaan berpuasa, seperti puasa senin-kamis atau qodho’ puasa yang waktunya sudah sempit atau dia bernadzar yang harus dilakukannya. Dalam keadaan seperti ini tidak ada salahnya dia tetap berpuasa karena puasa ini berkaitan dengan sebab. Berbeda dengan puasa sunnah yang tidak memiliki batasan tertentu, yang hukumnya makruh jika dilakukan sebelum Ramadhan.

Kesimpulan Hadits :

1. Larangan mendahului puasa Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari.

2. Rukhshah bagi orang yang secara kebetulan berbarengan dengan puasa yng biasa dia kerjakan, seperti puasa senin-kamis.

3. Diantara hikmah larangan ini, Wallahu a’lam, untuk membedakan antara ibadah fardhu dengan ibadah sunnah, disamping sebagai persiapan menghadapi Ramadhan dengan semangat, agar puasa itu benar-benar menjadi syiar bulan yang utama tersebut.

Wallahu Ta’ala a’lam

Sumber : Kitab “Taisirul ‘allam syarh ‘umdatul ahkam” Abdullah bin abdurrahman bin shalih ali Bassam.


Saturday, July 10, 2010

Kecantikan


Kecantikan adalah impian para wanita,
Mereka berdandan, berhias, menunjukkan perhiasan dan kemolekan tubuh
Hanya untuk mendapatkan gelar ratu kecantikan
Tidakkah mereka mengetahui kecantikan yang hakiki?
Inilah nasehat seorang ayah kepada puterinya
Akan makna kecantikan yang hakiki



Kecantikan jiwa lebih tinggi nilainya

Wahai puteriku, jika engkau menginginkan kecantikan menghiasi tubuh dan akalmu

Tinggalkanlah kebiasaan bertabarruj (bersolek), karena kecantikan jiwa itu lebih tinggi dan lebih mulia

(Hal ini sebagaimana) bunga buatan yang dibuat oleh para penghiasnya, namun bunga yang berada di taman tidak ada yang menyaingi keindahan dan bentuknya

Wahai putriku jadilah engkau seperti matahari yang menyinari manusia, baik yang mulia maupun yang hina



Rasa malu dan sikap lemah lembut adalah perangai terpuji

Jadikanlah rasa malu sebagai perangaimu

Karena rasa malu lebih utama dalam diri seorang wanita

Tidak ada kebahagiaan sedikitpun pada seorang gadis jika rasa malu sudah lenyap darinya

Dan jika engkau melihat seorang yang tertimpa kesusahan

Ulurkanlah kepadanya bantuan dan iringilah dengan cucuran air mata kebaikan

Karena air mata yang keluar dari rasa kebaikan lebih indah dalam pipi dan lebih cantik dan lebih tinggi nilainya dari permata

Dialihbahasakan oleh Abu Hasan Arif dari kitab al-Adwa fil Lughatil Arabiyyah

(Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 25 hal. 51)