Monday, August 30, 2010

Malam Lailatul Qadar

Keutamaannya sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur'an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah untuk memperingati malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.

Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur'aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

[1]. Keutamaan Malam Lailatul Qadar

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah berfirman.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur'an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar" [Al-Qadar : 1-5]

Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.

"Artinya : Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui" [Ad-Dukhan : 3-6]

[2]. Waktunya

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan. [1]

Imam Syafi'i berkata : "Menurut pemahamanku. wallahu 'alam, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau : "Apakah kami mencarinya di malam ini?", beliau menjawab : "Carilah di malam tersebut" [Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386]

Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda.

"Artinya : Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/225 dan Muslim 1169]

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, (dia berkata) : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/221 dan Muslim 1165]

Ini menafsirkan sabdanya.

"Artinya : Aku melihat mimpi kalian telah terjadi, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir" [Lihat Maraji' tadi]

Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda.

"Artinya : Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain : tujuh, sembilan dan lima)" [Hadits Riwayat Bukhari 4/232]

Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.

Kesimpulannya.

Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir : 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu 'alam

[3]. Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar.?

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Hadits Riwayat Bukhari 4/217 dan Muslim 759]

Disunnahkan untuk memperbanyak do'a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah Radhiyallahu 'anha, (dia) berkata : "Aku bertanya, "Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?" Beliau menjawab, "Ucapkanlah :
"Allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul afwa fa'fu'annii"
"Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku" [2]

Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.

Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya[3] menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/233 dan Muslim 1174]

Juga dari Aisyah, (dia berkata) :

"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya" [Hadits Riwayat Muslim 1174]

[4]. Tanda-Tandanya

Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu degan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.

Dari 'Ubay Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi" [Hadits Riwayat Muslim 762]

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda.

"Artinya : Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah" [4]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata : Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : (Malam) Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan" [Tahayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan]

Wallahu Ta’ala a’lam bish-showab

***

Sumber : Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan,

Penulis : Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid,

terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata

Artikel almanhaj.or.id
_________
Foote Note.

[1]. Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-neda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah...
[2]. Hadits Riwayat Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali.
[3]. Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingisngkan badan untuk mencarinya
[4]. Muslim 1170. Perkataan : "Syiqi jafnah" syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi 'Iyadh berkata : "Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan".

Saturday, August 28, 2010

Serba-Serbi Seputar Shaum

Segala puji bagi Allah Pemelihara seluruh alam. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad beserta keluarga dan para sahabatnya. Amma ba’du,

Tulisan ini adakah ringkasan yang berkaitan dengan puasa, hukum-hukumnya, kelompok manusia ketika berpuasa, juga seputar pembatal-pembatal puasa dan beberapa faedah lainnya.

Shaum adalah ibadah kepada Allah -subhanahu wa ta’ala- dengan cara meninggalkan hal-hal yang membatalkannya dari mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari.

Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang agung. Hal ini berdasarkan sabda Nabi -shollallahu alaihi wa sallam :

Islam itu di bangun di atas lima perkara: Bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak untuk diibadahi keculi Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum di bulan ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji ke baitullah al-haram. (HR. al-Bukhari & Muslim)

KELOMPOK MANUSIA KETIKA BERPUASA

  1. Puasa wajib bagi setiap muslim yang baligh, berakal, mampu melaksanakanya dan dalam keadaan bermukim.
  2. Orang kafir tidak wajib berpuasa, dan ia tidak wajib mengqadha apabila masuk Islam.
  3. Anak kecil yang belum baligh belum wajib untuk berpuasa ,akan tetapi ia dilatih untuk melaksanakannya supaya terbiasa.
  4. Orang gila tidak wajib puasa dan tidak pula wajib membayar fidyah meskipun sudah tua. Demikian pula orang yang kurang akalnya yang tidak dapat membedakan benar atau salah.
  5. Orang yang tidak mampu berpuasa karena sudah tua, atau sakit yang tidak dapat di harapkan kesembuhanya, maka harus membayar fidyah dengan cara memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
  6. Orang yang mendadak sakit, apabila berat baginya berpuasa, ia boleh berbuka, dan jika sudah sembuh wajib untuk mengqadhanya.
  7. Wanita hamil dan ibu menyusui apabila merasa berat untuk berpuasa karena kehamilannya atau karena sedang menyusui, atau takut atas keselamatan anaknya, maka boleh berbuka dan harus mengqadha puasa yang ditinggalkannya pada saat mampu untuk melaksanakannya atau tatkala sudah tidak takut atas keselamatan anaknya.
  8. Wanita haidh atau nifas tidak boleh berpuasa, akan tetapi wajib mengqadha shaum yang ditinggalkanya.
  9. Orang yang dalam keadaan darurat untuk berbuka karena ingin menyelamatkan orang yang tenggelam atau orang yang tertimpa kebakaran boleh berbuka untuk menyelamtkan orang itu tapi dia harus mengqadhanya.
  10. Musafir boleh berbuka boleh tidak, tapi wajib untuk menqadha puasa yang ditinggalkanya walaupun safarnya itu tiba-tiba, seperti orang yang melakukan umroh, atau safar yang terus menerus seperti halnya orang yang berprofesi sebagai supir, mereka boleh berbuka jikalau mau selama tidak tinggal di negerinya sendiri.

PEMBATAL-PEMBATAL PUASA

Tidak batal puasa orang yang lupa, atau tidak tahu, atau mungkin dipaksa untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasanya. Dasarnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.

(QS. al-Baqarah: 286)

Kecuali orang yang dipaksa (kafir) padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)

(QS. an-Nahl: 106)

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.

(QS. al-Ahzab: 5)

  1. Orang yang makan dan minum karena lupa ketika berpuasa tidaklah batal puasanya.
  2. Apabila makan dan minum karena meyakini matahari telah tebenam, atau fajar belum terbit, tidaklah batal puasanya karena dia tidak tau.
  3. Apabila berkumur-kumur kemudian air itu masuk ketenggorokannya karena tidak disengaja puasanya tidak batal.
  4. Apabila bermimpi basah maka tidak batal puasanya, karena itu tidak disengaja.

Pembatal-Pembatal Puasa Ada Delapan:

  1. Jima’ (hubungan suami istri): Apabila orang yang berpuasa melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan ramadhan wajib untuk melanjutkan puasanya, dan harus mengqadha serta membayar kafaroh yang berat, yaitu membebaskan seorang budak, apabila tidak mendapatkannya harus melakukan puasa selama dua bulan berturut-turut, apabila tidak mampu harus memberi makan 60 orang miskin.
  2. Keluar air mani dalam keadeaan terjaga (tidak tidur) baik dengan cara onani, bercumbu, ciuman, atau hanya sekedar berpelukan dan yang sejenisnya.
  3. Makan dan minum, baik makanan dan minuman itu yang bermanfaat atau yang berbahaya seperti rokok.
  4. Infus sari makanan yang dengannya tidak lagi membutuhkan makanan, karena itu sama dengan makan dan minum. Adapun infus yang tidak mengandung makanan tidak membatalkan puasa walaupun mempergunakannya dilengan atau diurat nadi, baik dia merasakan ada rasa diteggorokannya atau tidak.
  5. Tranfusi darah, seperti orang yang berpuasa banyak mengeluarkan darah kemudian dia ditranfusi darah sebagai ganti dari darah yang keluar itu.
  6. Keluar darah haidh atau darah nifas.
  7. Mengeluarkan darah dengan cara bekam atau yang sejenisnya.Adapun keluar darah dengan sendirinya seperti mimisan (keluar darah dari hidung) atau pada saat mencabut gigi, tidak membatalkan puasa;karena itu bukan bekam dan tidak seperti bekam.
  8. Muntah dengan sengaja, apabila tidak disengaja tidak membatalkan puasa.

RAGAM FAEDAH

  1. Boleh niat puasa dalam keadaan junub kemudian mandi setelah terbit fajar.
  2. Wanita yang telah suci dari haidh atau nifas di bulan ramadhan sebelum terbit fajar wajib untuk berpuasa meskipun mandinya setelah terbit fajar.
  3. Orang yang berpuasa boleh mencabut gigi, mengobati luka, memberi obat tetes di mata dan hidungnya, dan itu tidak membatalkan puasanya walaupun dia merasakan suatu rasa ditenggorokannya.
  4. Orang yang berpuasa boleh memakai siwak baik di waktu pagi, siang, atau sore hari, karena bersiwak itu sunah bagi orang yang sedang puasa ataupun tidak.
  5. Orang yang berpuasa boleh meringankan rasa panas atau haus dengan cara mendinginkan tubuhnya dengan menggunaan air (bukan untuk diminum) atau dengan berdiam diri di ruangan yang ber-AC.
  6. Orang yang berpuasa boleh menyemprot mulutnya dengan sesuatu yang dapat melegakan nafasnya yang diakibatkan oleh pukulan atau lainnya.
  7. Orang yang berpuasa boleh membasahi kedua bibirnya dengan air apabila kering,atau berkumur-kumur apabila mulutnya kering selama air itu tidak masuk ketenggorokan.
  8. Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk mengakhirkan makan sahur sampai menjelang fajar, dan menyegerakan berbuka setelah matahari terbenam, dan dianjurkan berbuka dengan ruthob (kurma setengah matang) kalau tidak ada dengan tamer (kurma matang) kalau tidak ada dengan air,kalau tidak ada dengan makanan apa saja yang halal,kalau tidak ada juga dia berniat dengan hatinya untuk berbuka sampai mendapatkan makanan.
  9. Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk memperbanyak keta’atan,dan menjauhi semua larangan.
  10. Wajib bagi orang yang sedang berpuasa untuk senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi hal-hal yang diharamkan, dengan melaksanakan sholat lima waktu tepat pada waktunya dengan berjamaah bagi laki-laki, serta meninggalkan perbuatan dusta, ghibah (menggunjing orang), berbuat curang, bermuamalah dengan riba/rentenir, dan seluruh ucapan atau perbuatan yang diharamkan.

Nabi -shollallahu alaihi wa sallam- bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barang siapa yang tidak meniggalkan perkataan keji dan dusta serta melakukannya maka Allah tidak butuh dengan puasanya. (HR. al-Bukhari)

Segala puji bagi Allah Pemelihara seluruh alam. Sholawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabt beliau.

Sumber : Majalah adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah Ed 53, hal. 55-58

Penulis : Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rahimahullah-
Diterjemahkan oleh Abu Ahmad Fuad Hamzah bin Mubarak Baraba’, Lc

Monday, August 23, 2010

Hukum Mengajak Anak-Anak Ke Masjid

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya: Sebagian orang membawa anak-anaknya yang belum mumayyiz ke masjid, mereka belum bisa mengerjakan shalat dengan baik. Mereka berdiri berbaris bersama jama’ah. Namun sebagian anak bermain-main dan mengganggu orang sekitarnya. Bagaimana hukumnya hal tersebut? Apa nasihat Syaikh kepada orang tua anak-anak tersebut ?

Jawaban:

Menurut hemat saya, membawa anak-anak yang akan mengganggu jama’ah shalat tidak boleh. Karena hanya akan menyakiti jama’ah yang sedang menunaikan kewajiban dari Allah. Nabi Shallallahu ‘alaiahi was sallam pernah mendengar beberapa sahabat yang sedang shalat, bersuara keras dalam qiro’ah maka beliau bersabda.

Artinya: “Janganlah sebagian kalian bersuara melebihi orang lain dalam membaca ayat”

Dalam hadits lain, “Janganlah sebagian kalian mengganggu lainnya”.

Jadi, segala sesuatu yang dapat mengganggu jama’ah shalat tidak boleh dilakukan oleh siapapun. Nasihat saya kepada orang tua, sebaiknya tidak menyertakan anak-anak ke masjid, hendaklah mereka berpegang pada petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Artinya: “Perintahkanlah anak-anak kalian mengerjakan shalat sewaktu berumur tujuh tahun. Dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya sewaktu umur sepuluh tahun”.

Demikian juga saya pesan kepada pengurus masjid agar berlapang dada dan tidak menghalangi anak-anak datang ke masjid sepanjang diperbolehkan oleh syari’at. Dan tidak mengusir mereka dari tempatnya, karena siapa saja yang lebih dahulu mengambil tempat, maka dialah yang paling berhak mendapatkannya, baik anak-anak atau orang dewasa. Karena itu, mengusir anak-anak dari tempat shalat mereka mengandung unsur:

  1. Perampasan hak, karena siapapun yang mendahului orang lain dari kalangan muslimin, maka dia orang yang paling berhak meraihnya.
  2. Menyebabkan trauma pada anak untuk kembali mendatangi masjid.
  3. Akan menanamkan rasa dengki anak terhadap orang yang mengusirnya dari tempatnya semula.
  4. Anak-anak akan berkumpul menjadi satu, sehingga terjadilah permainan di antara mereka dan menyebabkan gangguan terhadap jama’ah yang sebenarnya hal itu tidak akan terjadi manakala anak-anak berbaris dalam shaf orang-orang dewasa.

Adapun pendapat yang disebutkan oleh sebagian ulama, bahwa anak kecil boleh dipindahkan dari tempatnya semula sehingga berada di ujung shaf atau di shaf paling akhir, dengan dalil bahwa Nabi pernah bersabda.

Artinya: “Hendaknya berada didekatku, orang-orang dewasa dan berakal”

Adalah pendapat marjuh (lemah) yang bertentangan dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain.

Artinya: “Barangsiapa lebih dulu mendapatkan sesuatu yang belum ada seorangpun yang mendahuluinya maka dialah orang yang paling berhak mendapatkkannya”

Dan istidlal (penggunaan dalil) mereka dengan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Hendaknya berada didekatku, orang-orang dewasa dan berakal”, dalam masalah ini tidak tepat.

Karena kandungan hadits ini adalah anjuran kepada orang-orang dewasa dan berakal agar maju mendekati Nabi. Mereka adalah orang-orang yang lebih faham terhadap seluk beluk shalat daripada anak kecil. Dan lebih kuat pengetahuannya terhadap apa-apa yang dilihat atau didengar dari Nabi. Beliau tidak mengatakan: “Tidak boleh berada didekatku kecuali orang dewasa lagi berakal”.

Seandainya beliau mengucapkan kalimat seperti itu, tentu pendapat yang membolehkan pemindahan anak-anak dari barisan depan dapat diterima. Tetapi redaksi hadits ini berisi perintah bagi orang-orang dewasa dan berakal untuk mencari shaf-shaf awal agar berada di dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tambahan dan kesimpulan dari Abu Yusuf:

  1. Hendaklah tidak mengajak anak yang belum mumayyiz ke masjid pada waktu sholat berjama'ah, karena akan mengganggu para jama’ah sholat yang lain.
  2. Mumayyiz adalah masa sebelum baligh, dimana anak belum bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang membahayakan dirinya, kira-kira usia dibawah 7 tahun, ada juga yang berpendapat usia sebelum 12 tahun karena yang menjadi tolak ukur bukan sekedar usia tapi pemahaman dan kecerdasan.
  3. Mengenalkan dan mengajarkan sholat jama’ah dapat dilakukan pada waktu selain waktu sholat berjama’ah.
  4. Bagi orang dewasa, tidak boleh mengusir anak-anak yang telah datang ke masjid atau mengusir mereka dari shaf karena dapat menimbulkan madharat yang lebih besar, yaitu menimbulkan kedengkian dan keengganan mereka kelak ke masjid atau juga menimbulkan kegaduhan lebih besar karena berkumpulnya anak-anak.
  5. Memahamkan orang tua mereka lebih di anjurkan, supaya tidak mengajak anak-anak mereka yang belum mumayyiz ke masjid ketika sholat berjama'ah.
  6. Alasan di rumah tak ada yang menjaga tak dapat diterima seandainya Ibunya bisa menjaga mereka (dengan tidak ikut berjama’ah di masjid), karena menghilangkan kemadharatan lebih di dahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan. Tambahan pula, sebaik-baik sholat bagi wanita adalah dirumah mereka secara hukum asal.
  7. Penguatan kembali untuk mencari shaf depan, terutama bagi orang dewasa dan berakal, karena keutamaannya, akan tetapi dilarang mengusir anak-anak yang telah mendahului mendapatkan shaf depan.

Wallahu Ta'ala a'lam bish-showab...

***

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatawa Islamiyah 2/8

Sumber: kitab Fatawa Ath-Thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu

Artikel Almanhaj.or.id


Friday, August 20, 2010

Dzikir-Dzikir di Bulan Ramadhan

Dzikir Ketika Melihat Hilal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat hilal beliau membaca,

اللَّهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالإِِيمَانِ ، وَالسَّلامَةِ وَالإِِسْلامِ ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ

Allahumma ahillahu ‘alayna bilyumni wal iimaani was salaamati wal islaami. Robbii wa Robbukallah. [Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah]” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ad Darimi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan karena memiliki penguat dari hadits lainnya)

Ucapan Ketika Dicela atau Diganggu (Diusilin) Orang Lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَإِنْ سَابَّكَ أَحَدٌ أَوْ جَهُلَ عَلَيْكَ فَلْتَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ ، إِنِّي صَائِمٌ

“Apabila ada seseorang yang mencelamu atau berbuat usil padamu, katakanlah padanya, “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“.” (HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih). An Nawawi mengatakan, “Termasuk yang dianjurkan adalah jika seseorang dicela oleh orang lain atau diajak berkelahi ketika dia sedang berpuasa, maka katakanlah “Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]“, sebanyak dua kali atau lebih. (Al Adzkar, 183)

Do’a Ketika Berbuka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berbuka membaca,

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah [Rasa haus telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya Allah]” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Adapun mengenai do’a berbuka yang biasa tersebar di tengah-tengah kaum muslimin: “Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu….”, perlu diketahui bahwa ada beberapa riwayat yang membicarakan do’a ketika berbuka semacam ini. Di antaranya adalah dalam Sunan Abu Daud no. 2357, Ibnus Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 481 dan no. 482. Namun hadits-hadits yang membicarakan hal ini adalah hadits-hadits yang lemah. Di antara hadits tersebut ada yang mursal yang dinilai lemah oleh para ulama pakar hadits. Juga ada perowi yang meriwayatkan hadits tersebut yang dinilai lemah dan pendusta oleh para ulama pakar hadits. (Lihat Dho’if Abu Daudno. 2011 dan catatan kaki Al Adzkar yang ditakhrij oleh ‘Ishomuddin Ash Shobaabtiy)

Do’a Kepada Orang yang Memberi Makan dan Minum

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi minum, beliau pun mengangkat kepalanya ke langit dan mengucapkan,

أَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِى وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِى

“Allahumma ath’im man ath’amanii wa asqi man asqoonii” [Ya Allah, berilah ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku] (HR. Muslim no. 2055)

Do’a Ketika Berbuka Puasa di Rumah Orang Lain

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disuguhkan makanan oleh Sa’ad bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,

أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُونَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ الأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ

Afthoro ‘indakumush shoo-imuuna wa akala tho’amakumul abroor wa shollat ‘alaikumul malaa-ikah [Orang-orang yang berpuasa berbuka di tempat kalian, orang-orang yang baik menyantap makanan kalian dan malaikat pun mendo'akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Do’a Setelah Shalat Witir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pada saat witir membaca surat “Sabbihisma Robbikal a’laa” (surat Al A’laa),“Qul yaa ayyuhal kaafiruun” (surat Al Kafirun), dan “Qul huwallahu ahad” (surat Al Ikhlas). Kemudian setelah salam beliau mengucapkan

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ

“Subhaanal malikil qudduus”, sebanyak tiga kali dan beliau mengeraskan suara pada bacaan ketiga. (HR. Abu Daud dan An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengucapkan di akhir witirnya,

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ

“Allahumma inni a’udzu bi ridhooka min sakhotik wa bi mu’afaatika min ‘uqubatik, wa a’udzu bika minka laa uh-shi tsanaa-an ‘alaik, anta kamaa atsnaita ‘ala nafsik” [Ya Allah, aku berlindung dengan keridhoan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan kesalamatan-Mu dari hukuman-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjukan kepada diri-Mu sendiri]. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Do’a di Malam Lailatul Qadar

Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliauradhiyallahu ‘anha berkata, “Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab, “Katakanlah:

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى

‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ [Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id