Monday, January 10, 2011

Kelemahan Hadits tuntutlah ilmu sampai ke Negeri China

Setiap orang pasti telah mengetahui perkataan ini.

اُطْلُبُوْا العِلْمَ وَلَوْ في الصِّينِ

Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China.

Inilah yang dianggap oleh sebagian orang sebagai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun perlu diingat bahwa setiap buah yang akan dipanen tidak semua bisa dimakan, ada yang sudah matang dan keadaannya baik, namun ada pula buah yang dalam keadaan busuk. Begitu pula halnya dengan hadits. Tidak semua perkataan yang disebut hadits bisa kita katakan bahwa itu adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Boleh jadi yang meriwayatkan hadits tersebut ada yang lemah hafalannya, sering keliru, bahkan mungkin sering berdusta sehingga membuat hadits tersebut tertolak atau tidak bisa digunakan. Itulah yang akan kita kaji pada kesempatan kali ini yaitu meneliti keabsahan hadits di atas sebagaimana penjelasan para ulama pakar hadits. Penjelasan yang akan kami nukil pada posting kali ini adalah penjelasan dari ulama besar Saudi Arabia dan termasuk pakar hadits, yaitu Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah. Beliau rahimahullah pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi. Beliau adalah pakar dalam masalah hadits. Semoga Allah memberi kemudahan dalam hal ini.

[Penjelasan Derajat Hadits]

Mayoritas ulama pakar hadits menilai bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) dilihat dari banyak jalan.

Syaikh Isma’il bin Muhammad Al ‘Ajlawaniy rahimahullah telah membahas panjang lebar mengenai derajat hadits ini dalam kitabnya ‘Mengungkap kesamaran dan menghilangkan kerancuan terhadap hadits-hadits yang sudah terkenal dan dikatakan sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam’ pada index huruf hamzah dan tho’. Dalam kitab beliau tersebut, beliau mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, Al Khotib Al Baghdadi, Ibnu ‘Abdil Barr, Ad Dailamiy dan selainnya, dari Anas radhiyallahu ‘anhu. Lalu beliau menegaskan lemahnya (dho’ifnya) riwayat ini. Dinukil pula dari Ibnu Hibban –pemilik kitab Shohih-, beliau menyebutkan tentang batilnya hadits ini. Sebagaimana pula hal ini dinukil dari Ibnul Jauziy, beliau memasukkan hadits ini dalam Mawdhu’at (kumpulan hadits palsu).

Dinukil dari Al Mizziy bahwa hadits ini memiliki banyak jalan, sehingga bisa naik ke derajat hasan.

Adz Dzahabiy mengumpulkan riwayat hadits ini dari banyak jalan. Beliau mengatakan bahwa sebagian riwayat hadits ini ada yang lemah (wahiyah) dan sebagian lagi dinilai baik (sholih).

Dengan demikian semakin jelaslah bagi para penuntut ilmu mengenai status hadits ini. Mayoritas ulama menilai hadits ini sebagai hadits dho’if (lemah). Ibnu Hibban menilai hadits ini adalah hadits yang bathil. Sedangkan Ibnul Jauziy menilai bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu).

Adapun perkataan Al Mizziy yang mengatakan bahwa hadits ini bisa diangkat hingga derajat hasan karena dilihat dari banyak jalan, pendapat ini tidaklah bagus (kurang tepat). Alasannya, karena banyak jalur dari hadits ini dipenuhi oleh orang-orang pendusta, yang dituduh dusta, suka memalsukan hadits dan semacamnya. Sehingga hadits ini tidak mungkin bisa terangkat sampai derajat hasan.

Adapun Al Hafizh Adz Dzahabiy rahimahullah mengatakan bahwa sebagian jalan dari hadits ini ada yang sholih (dinilai baik). Maka kita terlebih dahulu melacak jalur yang dikatakan sholih ini sampai jelas status dari periwayat-periwayat dalam hadits ini. Namun dalam kasus semacam ini, penilaian negatif terhadap hadits ini (jarh) lebih didahulukan daripada penilaian positif (ta’dil) dan penilaian dho’if terhadap hadits lebih harus didahulukan daripada penilaian shohih sampai ada kejelasan shohihnya hadits ini dari sisi sanadnya. Dan syarat hadits dikatakan shohih adalah semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat). Inilah syarat-syarat yang dijelaskan oleh para ulama dalam kitab-kitab Mustholah Hadits (memahami ilmu hadits).

[Seandainya Hadits Ini Shohih]

Seandainya hadits ini shohih, maka ini tidak menunjukkan kemuliaan negeri China dan juga tidak menunjukkan kemuliaan masyarakat China. Karena maksud dari ‘Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China’ –seandainya hadits ini shohih- adalah cuma sekedar motivasi untuk menuntut ilmu agama walaupun sangat jauh tempatnya. Karena menuntut ilmu agama sangat urgen sekali. Kebaikan di dunia dan akhirat bisa diperoleh dengan mengilmui agama ini dan mengamalkannya.

Dan tidak dimaksudkan sama sekali dalam hadits ini mengenai keutamaan negeri China. Namun, karena negeri China adalah negeri yang sangat jauh sekali dari negeri Arab sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisalkan dengan negeri tersebut. Tetapi perlu diingat sekali lagi, ini jika hadits tadi adalah hadits yang shohih. Penjelasan ini kami rasa sudah sangat jelas dan gamblang bagi yang betul-betul merenungkannya.

Wallahu waliyyut taufiq.

[Sumber: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 22/233-234, Asy Syamilah]

Keterangan:

Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).

Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).

Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).

***

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel : rumaysho.com/

Mantan Budak di Mata Singa

عَنِ ابْنِ الْمُنْكَدِرِ ، أَنَّ سَفِينَةَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْطَأَ الْجَيْشَ بِأَرْضِ الرُّومِ ، أَوْ أُسِرَ فِي أَرْضِ الرُّومِ ، فَانْطَلَقَ هَارِبًا يَلْتَمِسُ الْجَيْشَ ، فَإِذَا هُوَ بِالأَسَدِ ، فَقَالَ لَهُ : أَبَا الْحَارِثِ ، إِنِّي مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ مِنْ أَمْرِي كَيْتَ وَكَيْتَ ، فَأَقْبَلَ الأَسَدُ لَهُ بَصْبَصَةٌ حَتَّى قَامَ إِلَى جَنْبِهِ كُلَّمَا سَمِعَ صَوْتًا ، أَهْوَى إِلَيْهِ ، ثُمَّ أَقْبَلَ يَمْشِي إِلَى جَنْبِهِ ، فَلَمْ يَزَلْ كَذَلِكَ حَتَّى بَلَغَ الْجَيْشَ ، ثُمَّ رَجَعَ الأَسَدُ

Dari Ibnu al Munkadir, sesungguhnya Safinah-bekas budak Rasulullah-kehilangan jejak rombongan pasukannya ketika berada di negeri Romawi atau beliau tertawan di negeri Romawi lalu beliau kabur mencari rombongan pasukan tersebut. Tiba-tiba beliau bertemu dengan seekor singa. Beliau berkata kepada sang singa, “Wahai singa-dalam bahasa Arab singa disebut juga Abul Harits-, aku adalah bekas budak Rasulullah. Aku sedang mengalami kondisi demikian dan demikian. Sang singa pun mendekati Safinah sambil mengibas-ibaskan ekornya. Akhirnya sang singa berdiri di samping Safinah. Setiap kali mendengar suara, singa tersebut mendekat. Akhirnya singa tersebut berjalan bersebelahan dengan Safinah sampai berjumpa dengan rombongan pasukan. Setelah itu, sang singa pun kembali ke tempatnya [Syarh Sunnah karya al Baghawi jilid 13 hal 313 no hadits 3732].

Syaikh Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Para perawinya adalah para perawi yangtsiqah (kredibel) akan tetapi Ibnul Munkadir tidaklah mendengar (riwayat) dari Safinah. Riwayat ini juga terdapat dalam al Mushannaf no 20544. Redaksi semisal juga diriwayatkan oleh al Hakim 3/606, dinilai shahih oleh al Hakim dan penilaian al Hakim disetujui oleh Dzahabi. Hadits ini juga disebutkan oleh Suyuthi dalam al Khashaish. Suyuthi mengatakan bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Saad, Abu Ya’la, al Bazzar, Ibnu Mandah, al Baihaqi dan Abu Nu’aim” [Syarh al Sunnah karya al Husain bin Mas’ud al Baghawi tahqiq Syu’aib al Arnauth jilid 13 hal 313, terbitan al Maktab al Islamy Beirut, cetakan kedua 1403 H].

Al Albani mengatakan, “Al Hakim dalam 3/606 juga meriwayatkan dengan redaksi yang semisal. Al Hakim mengatakan, “Shahih menurut kriteria Muslim”. Penilaian dari al Hakim ini juga disetujui oleh Dzahabi dan benarlah apa yang dikatakan oleh keduanya” [Misykah al Mashabih karya Muhammad bin Abdullah al Khatib al Tibrizi tahqiq al Albani jilid 3 hal 1676 no hadits 5949, terbitan al Maktab al Islamy, cetakan kedua tahun 1399].

Hadits di atas menceritakan sebuah kejadian yang dialami oleh Safinah-dalam bahasa Arab bermakna perahu-yang merupakan gelaran untuk seorang bernama Mahran, kun-yahnya adalah Abu Abdurrahman.

Dari Sa’id bin Jumhan dari Safinah, Ummu Salamah membeliku lalu membebaskan diriku dari perbudakan. Aku membuat perjanjian dengan Ummu Salamah bahwa aku mau merdeka asalkan aku tetap diperbolehkan untuk melayani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selama aku masih hidup. Aku katakan, “Aku tidak ingin berpisah dengan Nabi selama aku masih hidup” [Shifah al Shofwah karya Ibnul Jauzi jilid 1 hal 671, terbitan Dar Al Ma’rifah Beirut, cetakan ketiga 1405 H].

Tentang asal muasal gelar safinah yang beliau sandang, penjelasannya ada dalam riwayat berikut ini:

عن سَعِيد بْنُ جُمْهَانَ ، عَنْ سَفِينَةَ ، قَالَ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ، فَكُلَّمَا أَعْيَا بَعْضُ الْقَوْمِ أَلْقَى عَلَيَّ سَيْفَهُ وَتُرْسَهُ وَرُمْحَهُ ، حَتَّى حَمَلْتُ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا كَثِيرًا ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنْتَ سَفِينَةُ.

Dari Sa’id bin Jumhan, dari Safinah, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah dalam sebuah perjalanan. Jika ada anggota rombongan yang kecapekan maka dia meminta aku untuk membawakan pedang, tameng ataupun tombaknya. Sehingga aku membawa beban muatan yang cukup banyak”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Engkau adalah safinah alias perahu” (HR Ahmad no 21975. Syu’aib al Arnauth mengatakan, “Sanadnya berkualitas hasan”).

Pelajaran terpenting dari hadits di atas adalah adanya karomah (kejadian luar biasa) yang dialami oleh orang-orang yang shaleh.

Terkait dengan karomah untuk hamba-hamba Allah yang shaleh ada tiga sikap manusia. Ada dua sikap salah dan satu sikap yang benar.

Dua sikap yang salah adalah:

Pertama, sikap sebagian orang bahwa semua kejadian luar biasa adalah karomah meski orang tersebut jauh dari ajaran agama. Mereka meyakini bahwa kejadian luar biasa yang dialami oleh orang yang tidak pernah shalat dan tidak pernah berpuasa adalah karomah padahal itu adalah kejadian luar biasa dari bantuan setan jin. Demikian pula, sebagian orang over dosis dalam menghormati dan memuliakan orang shaleh yang memiliki karomah sampai-sampai dipertuhankan. Kuburnya didatangi untuk dimintai kelancaran rezeki, keturunan dll.

Kedua, adalah keyakinan Mu’tazilah yang mengingkari adanya kejadian luar biasa pada diri seorang hamba Allah yang saleh karena mereka beranggapan bahwa kejadian luar biasa hanya bisa dialami oleh para nabi. Tentu ini adalah anggapan yang tidak benar. Yang benar, kejadian luar biasa yang berasal dari anugerah Allah itu bisa dialami oleh para nabi dan bisa dialami orang-orang yang saleh.

Sedangkan sikap yang benar adalah meyakini adanya berbagai kejadian luar biasa. Jika hal itu dialami oleh nabi disebut mu’jizat. Jika dialami oleh manusia saleh yang bukan nabi disebut karomah. Jika dialami oleh orang jauh dari ketaatan kepada Allah maka itu adalah bagian dari ahwal syaithaniyyah alias bantuan setan. Mereka itulah para dukun yang memiliki khadam atau dalam bahasa jawa disebut dengan rewang yang hakikatnya adalah setan jin yang dipuja oleh para dukun.

Jadi tolak ukur yang membedakan antara ahwal syaithaniyyah dengan karomah adalah kondisi orang yang memilikinya. Jika amal perbuatan tersebut sesuai dengan ajaran Islam maka kejadian luar biasa yang dia alami adalah karomah. Jika tidak maka itulah bantuan setan.

Artikel www.ustadzaris.com