Sunday, February 27, 2011

Waktu Pemberian Nama bagi Buah Hati

Selain pembahasan mengenai “Pilihlah Nama yang Terbaik Untuk Buah Hati Anda“, disini akan dibahas waktu pemberian nama bagi buah hati. Tentang hal ini, ada dua hadits yang berkaitan, yaitu:

Pemberian nama pada hari lahir bayi tersebut. Dari Anas bin Malikradhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وُلِدَ لِيَ اللَّيلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْم أبِي إِبْرَاهِيمَ

“Pada suatu malam, aku dianugrahi seorang bayi dan aku namai ia dengan nama ayahku, yakni Ibrahim.” (HR. Muslim)

Pemberian nama pada hari ke tujuh dari hari kelahiran. Hadits yang paling shahih tentang hal ini adalah hadits Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذبَحُ عَنهُ يَومَ سَابِعِهِ وَ يُحلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى

“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama pada hari itu juga.” (HR. Abu Daud, An Nasai, Ibnu Majah, Ahmad. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Syaikh Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad mengatakan bahwa perbedaan yang terjadi dalam hal ini hanyalah perbedaan yang menunjukkan keragaman, artinya dalam hal ini tidak ada pembatasan. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.

Cara lain adalah sebagaimana pendapat yang dinyatakan oleh Imam Bukhari rahimahullahuntuk menggabungkan dua hadits ini, yaitu bahwa bagi yang tidak melakukan aqiqahmaka ia boleh menamai bayinya pada hari kelahirannya dan apabila ia ingin melakukan aqiqah, maka pemberian nama boleh ditunda hingga hari ke tujuh.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ini adalah cara penggabungan makna yang sangat teliti dan belum ada yang berpendapat seperti ini selain al-Bukhari rahimahullah.”

Pendapat lain menyatakan bahwa waktu pemberian nama ada dua: (1) Waktu yangdisunnahkan, yaitu pada hari ke tujuh, (2) Waktu yang dibolehkan, yaitu sejak hari pertama sampai satu hari setelah hari ke tujuh.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pada hakekatnya pemberian nama berfungsi untuk menunjukkan identitas penyandang nama, karena jika ia didapati tanpa nama berarti ia tidak memiliki identitas yang dengannya ia bisa dikenali. Oleh karena itu, identitasnya boleh diberikan pada hari kelahirannya, boleh juga ditunda hingga hari ketiga atau pada hari aqiqahnya, boleh juga sesudah hari aqiqahnya. Jadi, waktu pemberian nama tidak memiliki batasan.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-’Utsaimin rahimahullah berkata, “Adapun mengenai pemberian nama terhadap bayi, jika nama tersebut sudah dipersiapkan sebelum ia lahir, maka nama tersebut diberikan setelah bayi itu lahir. Sebab pada suatu hari, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumah istrinya dan bersabda,

وُلِدَ لِيَ اللَّيلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْم أبِي إِبْرَاهِيمَ

“Pada suatu malam, aku dianugrahi seorang bayi dan aku namai ia dengan nama ayahku, yakni Ibrahim.” (HR. Muslim)

Adapun apabila belum ada persiapan nama sebelum bayi itu lahir, maka disunnahkan untuk memberinya nama pada hari ketujuh. Sebab pada hari itu hewan aqiqahnya disembelih dan dicukur rambutnya.” Wallahu a’lam.

***
Sumber : muslimah.or.id dari Buku Ensiklopedia Anak Tanya Jawab Tentang Anak Dari A sampai Z karya Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi.

Saturday, February 26, 2011

Tiga Amalan Harian Muslim Sejati

Saudaraku, setiap waktu merupakan ladang pahala bagi setiap muslim… Oleh sebab itu, janganlah kau lewatkan setiap jengkal waktu yang engkau lalui dengan kesia-siaan dan merugikan diri sendiri.

Berikut ini, akan kami sebutkan tiga buah amalan yang agung di sisi Allah, amalan yang dicintai-Nya, amalan yang akan mendekatkan dirimu kepada-Nya, amalan yang akan menentramkan hatimu dimanapun kau berada, amalan yang akan menjadi tabunganmu menyambut hari esok setelah ditiupnya sangkakala dan hancurnya dunia beserta segenap isinya…

Semoga Allah mengumpulkan kita bersama para nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang salih di dalam surga-Nya…, Allahumma amin.

[1] Perbanyaklah berdzikir kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian.” (QS. al-Baqarah: 152). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya…” (QS. al-Ahzab: 41). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak-anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah.” (QS. al-Munafiqun: 9). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul seraya mengingat Allah, melainkan pasti malaikat akan menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah akan menyebut-nyebut nama mereka di hadapan malaikat yang di sisi-Nya.” (HR. Muslim)

[2] Tetaplah berdoa kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Rabb kalian berfirman; Berdoalah kepada-Ku niscaya Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri sehingga tidak mau beribadah (berdoa) kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir: 60). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada suatu urusan yang lebih mulia bagi Allah daripada doa.” (HR. al-Hakim). Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah subhanah, maka Allah murka kepada dirinya.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita tabaraka wa ta’ala setiap malam yaitu pada sepertiga malam terakhir turun ke langit terendah dan berfirman, ‘Siapakah yang mau berdoa kepada-Ku niscaya Aku kabulkan, siapakah yang mau meminta kepada-Ku niscaya Aku beri, siapa yang mau meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)

[3] Mohon ampunlah kepada-Nya

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah Allah akan menyiksa mereka sementara kamu berada di tengah-tengah mereka, dan tidaklah Allah akan menyiksa mereka sedangkan mereka selalu beristighfar/meminta ampunan.” (QS. al-Anfal: 33). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya aku setiap hari meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali.” (HR. Bukhari).

Saudaraku,… perjalanan waktu menggiring kita semakin mendekati kematian… Oleh sebab itu marilah kita isi umur kita dengan dzikir, doa, dan taubat kepada-Nya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang dicintai-Nya, diampuni oleh-Nya, dan mendapatkan rahmat dari-Nya…

Sumber :

Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a karya Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Badr.

abumushlih.com/

Sunday, February 20, 2011

Rahasia preposisi “Laam” & “Alaa” dalam Do'a Pernikahan

Bismillah, wash sholaatu was salaamu alaa rosuulillaah, wa alaa aalihii wa shohbihii wa man waalaah…

Sudahkah anda hapal apa yang diajarkan Nabi -shollallohu alaihi wasallam- untuk mendoakan kedua mempelai ketika melangsungkan pernikahan? Jika belum, maka sekarang jangan lewatkan kesempatan untuk menghapal salah satu doa tersebut, hingga kita bisa menghidupkan salah satu sunnah Rosul -shollallohu alaihi wasallam- berikut ini:

باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ

Pertanyaannya selanjutnya, tahukah anda, apa arti dari doa tersebut? Inilah terjemahan harfiyah-nya: “Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud (1819), Tirmidzi (1011), dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)

Lagi-lagi ada pertanyaan: Bisakah pembaca membedakan makna “padamu” dan “atasmu” dalam terjemah harfiyah doa walimah di atas?! Mungkin ada yang bilang bisa, tapi penulis yakin banyak yang bilang tidak…

Marilah kita lihat beberapa terjemahan versi lainnya, yang bisa lebih memperjelas makna doa di atas:

Terjemahan pertama:

“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu, semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu, dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Terjemahan kedua:

“Semoga Allah memberkahimu (dalam urusan duniamu), semoga Dia (juga) memberkahimu (dalam urusan akhiratmu), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Terjemahan ketiga:

“Semoga Allah memberkahimu (di saat rumah tanggamu harmonis), semoga Dia (tetap) memberkahimu (di saat rumah tanggamu lagi renggang), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Terjemahan keempat:

“Semoga Alloh memberkahi (istrimu) untukmu, semoga Alloh menurunkan berkah atasmu (dalam menafkahinya dan memudahkan rizkinya), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Terjemahan kelima:

“Semoga Alloh memberkahi dirimu (dalam pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (anak dan keturunan)-mu, dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Terjemahan keenam

“Semoga Alloh memberikan berkah pada (hak)-mu (dari pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (kewajiban)-mu (karena pernikahan ini), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Lho… yang bener aja! kok bisa, doanya satu kok maknanya beda-beda gitu?!… Dari mana datangnya kata-kata yang ada dalam kurung-kurung itu?!… Wah, dari awal tulisan sudah banyak nanya, e… di tengah tulisan malah semakin banyak pertanyaan… Ga pa2 lah, pertanyaan yang penting kan pintunya ilmu… dan InsyaAlloh ini termasuk pertanyaan-pertanyaan penting…

Jawaban:

Untuk terjemahan pertama, yang berbunyi:

“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu, semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu, dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Kita bisa merujuknya ke perkataan As-Sindy ketika men-syarah hadits diatas, ia mengatakan:

الْبَرَكَة لِكَوْنِهَا نَافِعَة تَتَعَدَّى بِاللَّامِ وَلِكَوْنِهَا نَازِلَة مِنْ السَّمَاء تَتَعَدَّى بِعَلَى فَجَاءَتْ فِي الْحَدِيث بِالْوَجْهَيْنِ لِلتَّأْكِيدِ وَالتَّفَنُّن وَالدُّعَاء مَحَلّ لِلتَّأْكِيدِ وَاَللَّه تَعَالَى اِعْلَمْ

“Berkah itu, karena bermanfaat (untuk hamba) maka dipakailah preposisi “Laam”, dan karena berkah (juga) turunnya dari langit, maka dipakailah preposisi “Alaa”. Oleh karenanya dalam hadits ini dipakai dua-duanya untuk lebih memperkuat makna, dan lebih memvariasikan kata. (Yang demikian itu), karena doa itu momen (yang tepat) untuk memperkuat (makna), wallohu a’lam”. (lihat di syarah As-Sindi untuk Sunan Ibnu Majah, hadits no: 1895, lihat juga di Mirqotul Mafatih 8/377)

Untuk terjemahan kedua, yang berbunyi:

“Semoga Allah memberkahimu (dalam urusan duniamu), semoga Dia (juga) memberkahimu (dalam urusan akhiratmu), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Mengapa kita mengkhususkan preposisi “Laam” untuk urusan dunia, sedang preposisi “Alaa” untuk urusan akhirat, adakah penjelasan yang mendukungnya?

Terjemahan ini didasarkan pada adanya beberapa nash yang menghubungkan manfaat duniawi dengan preposisi “Laam”, di sisi lain ada beberapa nash yang menghubungkan urusan akherat dengan preposisi “Alaa”, dari sinilah muncul pemaknaan kedua ini, dan diantara nash yang dijadikan sandaran adalah:

Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا

Dua pelaku teransaksi itu masih dalam khiyar selama belum pisah, lalu jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya diberkahi dalam transaksinya. (HR. Bukhori:1937 dan Muslim: 2825).

Begitu pula sabda beliau berikut ini:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا

“Ya Alloh, berikanlah berkah pada (takaran) sho’ dan (takaran) mud kami” (HR. Bukhori: 1756, dan Muslim: 2339).

Jelas manfaat yang ada dalam dua hadits di atas, adalah manfaat duniawi, dan di situ dipakai preposisi “Laam”.

Di lain sisi, untuk manfaat yang berhubungan dengan akhirat, dipakai preposisi “Alaa”, misalnya berkah atas kenabian:

Firman Alloh ta’ala:

وَبارَكْناَ عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاق

Dan kami berikan keberkahan atasnya (yakni Nabi Ibrohim), juga atas Nabi Ishak.(as-Shoffat: 113)

Sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam- dalam tahiyat akhir:

وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّد

Berikanlah keberkahan atas Muhammad dan keluarganya.

Untuk terjemahan ketiga, yang berbunyi:

“Semoga Allah memberkahimu (di saat rumah tanggamu harmonis), semoga Dia (tetap) memberkahimu (di saat rumah tanggamu lagi renggang), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Alasannya: Karena preposisi “Laam” dan “Alaa” disandingkan dalam doa ini, berarti keduanya memiliki arti yang berbeda, dan sesuai kaidah bahasa arab, biasanya preposisi “Laam” itu dipakai untuk menunjukkan makna yang baik, sedangkan preposisi “Alaa” digunakan untuk menunjukkan makna yang buruk. Dan keadaan baik ketika berkeluarga adalah ketika terwujud suasana yang harmonis antara keduanya, sedang keadaan yang buruk dalam berkeluarga adalah ketika hubungan keduanya sedang renggang dan banyak masalah. Dari sinilah muncul makna ketiga ini.

Untuk terjemahan keempat, yang berbunyi:

“Semoga Alloh memberkahi (istrimu) untukmu, semoga Alloh menurunkan berkah atasmu (dalam menafkahi dan memudahkan rizkinya), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Kita bisa merujuknya ke kitab Faidhul Qodir, karya Al-Munawi (1/406). Terjemahan ini juga didasari perbedaan preposisi “Laam” dan “Alaa”, tapi dari sudut pandang lain. Dasar pemaknaan ini -wallohu a’lam-, karena makna “Alaa” itu identik untuk menerangkan sesuatu yang datang dari atas, maka ditentukanlah makna rizki dan nafkah dalam doa itu. Alloh berfirman: “Dan di langit itu, terdapat rizki dan apa yang dijanjikan untuk kalian” (Surat Adz-Dzariyat: 22).

Dan karena preposisi “Alaa” dipakai untuk menerangkan datangnya sesuatu dari atas yang berupa rizki dan nafkah, berarti preposisi “Laa” bermakna sebaliknya, yakni untuk menerangkan sesuatu yang dari sesama manusia, dan karena momen doa ini adalah ketika baru mendapat nikmat istri yang halal, maka ditentukanlah kata istri dalam memaknainya, wallohu a’lam.

Untuk terjemahan kelima, yang berbunyi:

“Semoga Alloh memberkahi dirimu (dalam pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (anak dan keturunan)-mu, dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Kita bisa merujuknya ke Kitab Mirqotul Mafatih (8/377) dan Faidhul Qodir (1/176). Ini juga penjabaran makna yang didasari oleh perbedaan penggunaan preposisi “Laam” dan “Alaa”. Penjelasannya: Karena keberkahan dari pernikahan itu bergantung dari masing-masing mempelai, maka dipakailah preposisi “Laam” yang menunjukkan makna kepemilikan.

Sedang alasan ditentukannya preposisi “Alaa” untuk makna “anak dan keturunan” adalah, karena tujuan utama pernikahan itu “berputar” pada anak dan keturunan. Dalam bahasa arabnya dikatakan:

لأنّ مَقْصُوْدَ النّكَاحِ يَدُوْرُ عَلَى الذَّراَرِي والنَّسَل

Lihatlah redaksi yang kami cetak merah, kata “yaduru” (berputar/berkutat) dalam bahasa arab, cocoknya diberi preposisi “Alaa”, dan tidak cocok bila diberi preposisi “Laam”. Dengan demikian, doa ini juga mengingatkan kita pada maksud utama kita menikah, yakni untuk mendapatkan anak dan keturunan. Rosul -shollallohu alaihi wasallam- bersabda:

تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ

Nikahilah wanita yang penyayang dan (berpotensi) banyak anak, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat-umat lain! (HR. Abu Dawud: 1754, dan yang lainnya, dishahihkan oleh Albani).

Untuk terjemahan keenam, yang berbunyi:

“Semoga Alloh memberikan berkah pada (hak)-mu (dari pernikahan ini), semoga Alloh juga memberikan berkah atas (kewajiban)-mu (karena pernikahan ini), dan semoga Alloh mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Artian ini juga karena adanya perbedaan preposisi ”laam” dan “alaa”. Karena biasanya dalam bahasa arab, preposisi “laam” itu digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi hak dan kepunyaannya, sedang preposisi “alaa” digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang. Seperti dalam sabda Nabi -shollallohu alaihi wasallam-:

يا معاذ هل تدري حق الله على عباده، وما حق العباد على الله؟! قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإن حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا

“Wahai Mu’adz! Tahukah kamu, haknya Alloh atas para hamba-Nya, dan haknya para hamba atas-Nya?!”. “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu hal itu” jawabku. “Haknya Alloh atas para hamba-Nya adalah mereka menyembah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun, sedang haknya para hamba atas-Nya adalah Dia tidak akan menyiksa orang yang tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun”.

ِِAsal dari redaksi “حق العباد” adalah “حق للعباد” (artinya: haknya Alloh), sebagaimana dikatakan “بيتي” asalnya adalah “بيت لي” (artinya: rumahku)… Akan lebih jelas, bila dijabarkan seperti ini:

ذكر في هذا الحديث أربعة حقوق: حقان لله وللعبد, وحقان على الله وعلى العبد

Artinya: “Dalam hadits ini, disebutkan empat hal: 2 hak, (yakni) haknya Alloh dan haknya hamba, dan 2 kewajiban, (yakni) kewajibannya Alloh dan kewajibannya hamba”. Lihatlah bagamana dua preposisi itu mempengaruhi makna. Begitu pula doa di atas, juga bisa diartikan seperti arti ini, wallohu a’lam.

Kesimpulan:

Itulah penjabaran mengapa ada dua preposisi yang berbeda (“Laam” dan “Alaa”) dalam doa ini. Melihat semua penjabaran makna di atas, kita tidak melihat adanya maknya yang bertentangan, oleh karenanya semua makna tersebut bisa dibenarkan.

Namun menurut pengamatan penulis, di sana ada makna yang paling bagus dan bisa mencakup semua makna yang dijabarkan, yaitu makna pertama, yang disebutkan oleh As-Sindi dalam kitab syarahnya untuk Sunan Ibnu Majah. Mengapa demikian?!

Karena makna tersebut bisa dijabarkan seperti ini: (perhatikan dengan teliti!)

“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, baik berkah itu dari istrimu atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.

“Semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, dan baik berkah itu dari istrimu atau dari keturunanmu, atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.

“Dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”

Lihatlah betapa luas, makna doa ini, dan makna yang luas tersebut bisa diwakili oleh redaksi yang sangat singkat. Inilah diantara mukjizat kenabian beliau -shollallohu alaihi wasallamm-, yang biasa disebut dengan mukjizat “Jawami’ul Kalim” (Kata yang singkat, tapi maknanya padat).

Sekian postingan artikel kali ini, semoga bermanfaat dan menambah khazanah ilmiyah kita, kurang lebihnya mohon maaf…

Walhamdulillahi bini’matihi tatimmus sholihat, Wa Subhanakallohumma wa bihamdika asyhadu allaa ilaaha illaa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaiik…

Source : addariny.wordpress.com/

Saturday, February 19, 2011

Jalan Keselamatan

Barang siapa yang berharap selamat
Tak ada jalan selain mengikuti Muhammad
Itulah jalan yang lurus, sedang yang lain adalah
jalan sesat, menyimpang dan kebinasaan
Ikutilah kitab Allah dan sunnah yang shahih
Bila engkau mengikutinya, maka itulah petunjuk
Jauhi pertanyaan dengan mengapa dan bagaimana
Itu adalah pintu yang membutakan orang yang berilmu
Agama ialah sabda Rasul n dan para sahabatnya
dan dititi generasi Tabi’in dan para pengikutnya
مَنْ كَانَ يَرْغَبُ فِـي النَّجَاةِ فَـمَا لَـهُ
غَيْرُ اتِّبَاعِ الْمُصْطَـفَى فِيْـمَا أَتَـى
ذَاكَ سَـبِيْلُ الْمُسْتَـقِيْـمُ وَغَـيْرُهُ
سُبُلُ الضَّلاَلَـةِ وَالْغِوَايَـةِ وَالرَّدَى
فَاتْبَعْ كِتَابَ اللَّـهِ وَالسُّـنَنَ الَّتِـيْ
صَحَّتْ فَذَاكَ إِنِ اتَّبَعْتَ هُوَ الْهُدَى
وَدَعِ السُّـؤَالَ بِلِمَ وَكَيْـفَ فَإِنَّـهُ
بَابٌ يَجُرُّ ذَوِيْ الْبَصِيْرةِ لِلْعَـمَـى
الدِّيْنُ مَا قَالَ الرَّسُـوْلُ وَصَحْـبُـهُ
وَالتَّابِعُـوْنَ وَمَنْ مَنَاهِجَهُمْ قَــفَا


[Siyar A'lam an-Nubala', jilid 23, hlm. 314, Muassasah ar-Risalah, cet. 7, Bairut, Libanon, tahqiq Dr. Basysyar Awwad Ma'ruf dan Dr. Muhyi Hilal as-Sarhan, Ma'a Syaikhinaa Naashir as-Sunnah wa ad-Diin, Muhammad Nashiruddin al-Albani, karya Syaikh Ali Hasan al-Halabi, hlm. 30]


Dari: Majalah Islami, Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 62, halaman 80

Monday, February 14, 2011

Tanggal Kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Tanggal Kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperselisihkan secara tajam. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir tanggal 2 Rabiul Awal, 8 Rabiul Awal, 10 Rabiul Awal, 12 Rabiul Awal, 17 Rabiul Awal (Lihat al-Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir: 2/260 dan Latho’iful Ma’arif karya Ibnu Rojab hlm. 184-185). Semua pendapat ini tidak berdasarkan hadits yang shahih. Adapun hadits Jabir dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma yang menerangkan bahwa tanggal kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tanggal 12 Rabiul Awal tidak shahih. Kalaulah shahih, tentu akan menjadi hakim (pemutus perkara) dalam masalah ini. Akan tetapi, Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, “Sanadnya terputus.” (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Rajab hlm. 184-185)


Berhubung penentuan hari kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ada yang shahih, tidak mengapa kalau kita menukil pendapat ahli falak. Banyak ahli falak berpendapat bahwa hari kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Rabiul Awal, seperti al-Ustadz Mahmud Basya al-Falaki, al-Ustadz Muhammad Sulaiman al-Manshur Fauri (Sebagaimana dinukil oleh Shofiyurrohman al-Mubarokfuri dalam ar-Rahiqul Makhtum hlm. 62), dan al-Ustadz Abdullah bin Ibrahim bin muhammad as-Sulaim, beliau mengatakan,

“Dalam kitab-kitab sejarah dan siroh dikatakan bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam lahir pada hari Senin tanggal 10, atau 8, atau 12 dan ini yang dipilih oleh mayoritas ulama. Telah tetap tanpa keraguan bahwa kelahiran beliau adalah pada 20 April 571 M (tahun Gajah), sebagaimana telah tetap juga bahwa beliau wafat pada 13 Rabiul Awal 11 H yang bertepatan dengan 6 Juni 632 M. Selagi tanggal-tanggal ini telah diketahui, maka dengan mudah dapat diketahui hari kelahiran dan hari wafatnya dengan jitu, demikian juga usia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan mengubah tahun-tahun ini pada hitungan hari akan ketemu 22.330 hari dan bila diubah ke tahun qamariyyah akan ketemulah bahwa umur beliau 63 tahun lebih tiga hari. Dengan demikian, hari kelahiran beliau adalah hari Senin 9 Rabiul Awal tahun 53 sebelum hijriah, bertepatan dengan 20 April 571 M. (Taqwimul Azman hlm. 143, cet pertama 1404 H)

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Sebagian ahli falak belakangan telah meneliti tentang tanggal kelahiran Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata jatuh pada tanggal 9 Rabiul Awal, bukan 12 Rabiul Awal.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitab Tauhid: 1/491. Dinukil dari Ma Sya’a wa Lam Yatsbut fis Sirah Nabawiyyah hlm. 7-8 oleh Muhammad bin Abdullah al-Ausyan)

Dengan demikian, apa yang dirayakan oleh sebagian kaum muslimin pada tanggal 12 Rabiul Awal setiap tahunnya? (-ed muslim.or.id)

***

Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi
Dikutip oleh muslim.or.id dari artikel 8 Faedah Seputar Tarikh Majalah Al-Furqon Edisi 08 th. ke-8 1430 H/2009 M