Thursday, March 17, 2011

Empat Kaidah Memahami Kesyirikan

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya dan para pengikutnya.


Syirik adalah dosa yang paling besar dan paling berbahaya bagi manusia. Agar tidak jatuh didalamnya seorang muslim hendaknya berusaha mengetahuinya dan memahaminya dengan baik. Barangsiapa yang tidak tahu akan sesuatu akan terjatuh padanya. Salah satu cara mengetahuinya adalah dengan memahami kaidah-kaidah dasarnya. Dengan mengetahui kaidah-kaidahnya maka mudah untuk membedakan suatu perbuatan termasuk kesyirikan atau bukan. Berikut kami ringkas tulisan seorang ulama besar, syaik Muhammad At Tamimi, yang berjudul al Qowaaidul Arba’ yang memaparkan kaidah memahami kesyirikan secara ringkas, jelas dan mengena.


Antara Tauhid dan Syirik

Manusia tidak diciptakan kecuali untuk beribadah kepadaNya dan memurnikan ibadah tersebut hanya semata untukNya. Allah berfirman,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-Dzariyaat: 56)


Pokok dari ibadah adalah tauhid [1]. Untuk itu hendaknya setiap muslim berusaha untuk menjaga ibadahnya jangan sampai bercampur kesyirikan. Ibadah yang bercampur dengan kesyirikan akan merusak ibadah tersebut bahkan akan menggugurkan amal pelakunya dan diancam kekal di neraka. Selain itu dosa syirik adalah dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni oleh Allah , sebagaimana firmanNya,

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (An- Nisaa’: 48)

Berikut empat kaidah dalam memahami kesyirikan yang disarikan dari al Qur’an dan Sunnah:

Kaidah Pertama: Kaum Musyrikin juga Mengikrarkan Tauhid Rububiyah

Orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, mereka meyakini bahwa Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan, yang mematikan, yang memberi manfaat, yang mendatangkan madzarat, yang mengatur segala urusan (ini semua termasuk tauhid rububiyah). Tetapi semuanya itu tidak menyebabkan mereka sebagai muslim. Alllah berfirman,

قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ

Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (Yunus:31)

Selama mereka belum beribadah kepada Allah semata (tauhid uluhiyah) maka mereka tetap dihukumi sebagai seseorang yang berbuat syirik meskipun menyakini Allah sebagi Tuhan (sebagai pencipta, pengatur, pemberi rizki dan sebagainya).

Kaidah Kedua: Berdalih Hanya Sebagai Wasilah dan Pemberi Syafaat

Mereka (kaum musyrikin) berdalih bahwa berdoa kepada Nabi dan orang-orang shaleh yang telah mati hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari syafaat. Allah mengingkarinya sebagaimana dalam firmanNya,

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (Az-Zumar: 3)

Adapun tentang syafaat Allah berfirman,

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللّهِ مَا لاَ يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَـؤُلاء شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللّهِ

Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa’atan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah. (Yunus: 18).

Syafaat ada dua jenis, syafaat yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Syafaat yang diperbolehkan jika memenuhi syarat-syaratnya yaitu: setelah mendapat izin dari Allah dan yang diberi syafaat termasuk ahli tauhid (yang berbuat dosa)[2]. Adapun syafaat yang dilarang adalah meminta syafaat pada sesuatu yang tidak mampu kecuali Allah, Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاكُم مِّن قَبْلِ أَن يَأْتِيَ يَوْمٌ لاَّ بَيْعٌ فِيهِ وَلاَ خُلَّةٌ وَلاَ شَفَاعَةٌ َ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at..(al Baqarah: 254)

Kaidah Ketiga: Kesyirikan itu Bermacam Bentuknya

Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam memerangi manusia yang bermacam -macam kesyirikannya. Diantara mereka ada yang menyembah Nabi, orang-orang shaleh, wali, malaikat, pepohonan, bebatuan, matahari dan bulan[3]. Mereka semua diperangi oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Allah berfrman,

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَ تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ لِلّهِ

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. (al Baqarah: 193).

Kita lihat sekarang di zaman kita banyak orang terjerumus pada kesyirikan seperti mendatangi dukun, percaya ramalan bintang/zodiac, memakai jimat dan lainnya sedang mereka tidak sadar telah berbuat kesyirikan. Dalam pandangan mereka syirik itu hanya beribadah dan sujud pada berhala.

Kaidah Keempat: Kesyirikan Zaman ini Lebih Parah

Kaum musyrik zaman ini lebih parah kesyirikannya daripada zaman dahulu. Kaum musyrik zaman dahulu berbuat syirik hanya dalam keadaan lapang, dalam keadaan sempit dan terjepit mereka berdo’a kepada Allah semata. Sedangkan orang-orang musyrik zaman sekarang, mereka terus menerus melakukan perbuatan syirik, baik dalam keadaan lapang maupun sempit [4]. Allah berfirman,

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya . maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah). (Al-Ankabut: 65)


Semoga bermanfaat, Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulallah serta keluarga dan sahabatnya.

Selesai direvisi di Riyadh, 11 Rabi’ul Tsaani 1432 H (16 Maret 2011). Tulisan sebelumnya ditulis tanggal 19/3/2008.

Abu Zakariya Sutrisno

Artikel: www.thaybah.or.id / www.ukhuwahislamiah.com


Note:

[1]. Seperti yang disampaikan imam Shan’ani dalam That-hiiru al ‘I’tiqaad ‘an Ad-raani al Ilhaad pada ushul yang kelima (cet Darul Ibn Hazm hal.50).

[2]. Lihat lebih lanjut dalam Syarah Qawaa’idul al Arbaa’ oleh syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah (cet. Darul Imam Ahmad, hal.22)

[3]. Dalam matan kutaib sang muallif (pengarang kitab) memaparkan satu persatu dalil-dalil yang menunjukkan adanya penyembahan yang bermacam-macam tersebut.

[4]. Sebagaimana kita ketahui bersama saat bencana melanda sebagian orang malah membuat sesaji untuk Nyi Loro Kidul dan lainnya.

Wednesday, March 16, 2011

Anjuran Untuk Menikah : Sebagian Ucapan Para Sahabat & Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah

Sebagian Ucapan Para Sahabat Dan Tabi'in Yang Menganjurkan Untuk Menikah.

a). Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Ibnu ‘Abbas bertanya kepadaku: "Apakah engkau sudah menikah?" Aku menjawab: "Belum." Dia mengatakan: "Menikahlah, karena sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak isterinya." [1]

b). ‘Abdullah bin Mas’ud berkata: "Seandainya aku tahu bahwa ajalku tinggal 10 hari lagi, niscaya aku ingin pada malam-malam yang tersisa tersebut seorang isteri tidak berpisah dariku." [2]

c). Imam Ahmad ditanya: "Apakah seseorang diberi pahala bila mendatangi isterinya, sedangkan dia tidak memiliki syahwat?" Ia menjawab: "Ya, demi Allah, karena ia menginginkan anak. Jika tidak menginginkan anak, maka ia mengatakan: 'Ini adalah wanita muda.' Jadi, mengapa ia tidak diberi pahala?" [3]

d). Maisarah berkata, Thawus berkata kepadaku: "Engkau benar-benar menikah atau aku mengatakan kepadamu seperti apa yang dikatakan ‘Umar kepada Abu Zawaid: 'Tidak ada yang menghalangimu untuk menikah kecuali kelemahan atau banyak dosa.'" [4]

e). Wahb bin Munabbih rahimahullah berkata: "Bujangan itu seperti pohon di tanah gersang yang diombang-ambingkan angin, demikian dan demikian." [5]

Sungguh indah ucapan seorang penya’ir:

Renungkan ucapan orang yang mempunyai nasihat dan kasih sayang
Bersegeralah menikah, maka engkau akan mendapatkan kebanggaanmu

Ambillah dari tumbuhan yang merdeka lagi murni
Dan makmurkan rumahmu dengan takwa dan kebajikan

Jangan terpedaya dengan kecantikan, karena ia menumbuhkan
tumbuhan terburuk yang menampakkan kebinasaanmu

Takwa kepada Allah adalah sebaik-baik bekal
Maka makmurkanlah malam dan siangmu dengan berdzikir

[11]. Menikah Dapat Membantu Menahan Pandangan Dan Mengalihkan (Mengarahkan) Hati Untuk Mentaati Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -semoga Allah mensucikan ruhnya- ditanya tentang orang yang terkena panah dari panah-panah iblis yang beracun, beliau menjawab: “Siapa yang terkena luka beracun, maka untuk mengeluarkan racun dan menyembuhkan lukanya ialah dengan obat penawar racun dan salep. Dan, itu dengan beberapa perkara:

Pertama, menikah atau mengambil gundik (hamba sahaya yang menjadi miliknya). Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian melihat kecantikan wanita, maka hendaklah ia mendatangi (menggauli) isterinya. Sebab, apa yang dimilikinya sama dengan yang dimiliki isterinya.’” [6]

Inilah yang dapat mengurangi syahwat dan melemahkan cinta yang menggelora.

Kedua, senantiasa menunaikan shalat lima waktu, berdo’a, dan bertadharru’ di malam hari. Shalatnya dilakukan dengan konsentrasi dan khusyu’, dan memperbanyak berdo’a dengan ucapannya:

"Wahai Rabb Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu. Wahai Rabb Yang memalingkan hati, palingkanlah hatiku untuk mentaati-Mu dan mentaati Rasul-Mu."

Sebab, selama dia terus berdo’a dan bertadharru’ kepada Allah, maka Dia memalingkan hatinya dari keburukan, sebagaimana firman-Nya:

“... Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemunkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih.’” [Yusuf: 24]

Ketiga, jauh dari kediaman orang ini dan berkumpul dengan orang yang biasa berkumpul dengannya; di mana dia tidak mendengar beritanya dan tidak melihat dengan matanya; karena berjauhan itu dapat membuat lupa. Selama sesuatu itu jarang diingat, maka pengaruhnya menjadi lemah dalam hati.

Oleh karenanya, hendalah dia melakukan perkara-perkara ini dan memperhatikan perkara yang dapat memperbaharui keadaannya. Wallaahu a’lam.” [7]

Syaikhul Islam ditanya tentang seseorang yang membujang sedangkan dirinya ingin menikah, namun dia khawatir terbebani oleh wanita apa yang tidak disanggupinya. Padahal ia berjanji kepada Allah untuk tidak meminta sesuatu pun kepada seseorang untuk kebutuhan dirinya, dan ia banyak mengamati perkawinan; apakah dia berdosa karena tidak menikah ataukah tidak?

Beliau menjawab: Termaktub dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda:

"Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; sebab puasa dapat menekan syahwatnya." [8]

Kemampuan untuk menikah ialah kesanggupan untuk memberi nafkah, bukan kemampuan untuk berhubungan badan.

Hadits ini hanyalah perintah yang ditujukan kepada orang yang mampu melakukan hubungan badan. Karena itu beliau memerintahkan siapa yang tidak mampu untuk menikah agar berpuasa; sebab puasa dapat mengekang syahwatnya.

Bagi siapa yang tidak mempunyai harta; apakah dianjurkan untuk meminjam lalu menikah? Mengenai hal ini diperselisihkan dalam madzhab Imam Ahmad dan selainnya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya...” [An-Nuur: 33]

Adapun 'laki-laki yang shalih' adalah orang yang melakukan kewajibannya, baik hak-hak Allah maupun hak-hak para hamba-Nya. [9]


***

Oleh : Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Footnotes
[1]. HR. Al-Bukhari (no. 5199) kitab an-Nikaah, dan Ahmad (no. 2049).
[2]. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (IV/128), ‘Abdurrazzaq (no. 10382, VI/ 170).
[3]. Al-Mughni bisy Syarhil Kabiir (VII/31).
[4]. ‘Abdurrazzaq (no. 10384, VI/170), Siyar A’laamin Nubalaa' (V/47-48). Amirul Mukminin Radhiyallahu 'anhu hanyalah ingin membangkitkan semangat bawahannya itu supaya menikah ketika ia melihat Abu Zawaid belum menikah, padahal usianya semakin tua. Lihat Fat-hul Baari (IX/91), al-Ihyaa' (II/23), al-Muhalla (IX/44).
[5]. HR. ‘Abdurrazzaq (no. 10386, VI/171).
[6]. HR. Muslim (no. 1403) kitab an-Nikaah, at-Tirmidzi (no. 1158) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2151) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 14128).
[7]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/5-6).
[8]. HR. Al-Bukhari (no. 5066) kitab an-Nikaah, Muslim (no. 1402) kitab an-Nikaah, dan at-Tirmidzi (no. 1087) kitab an-Nikaah.
[9]. Majmuu’ Fatawaa Ibni Taimiyyah (XXXII/6).

Almanhaj.or.id/