Saturday, August 27, 2011

Jual-Beli dengan dua Harga

Pertanyaan:
Apa pendapatmu pada transaksi jual beli mobil: Jika dibeli secara tunai harganya 10.000 riyal (sekitar 25 juta rupiah), namun jika dibeli secara kredit 12.000 riyal sebagaimana yang berlaku saat ini di berbagai dealer mobil?

Jawaban:

Jika seseorang membeli mobil atau selainnya dari orang lain, misalnya dengan harga 10.000 riyal secara tunai atau 12.000 riyal -secara kredit- kemudian berpisah dari majelis akad, tanpa ada kesepakatan dari dua akad tadi (mau tunai ataukah kredit), maka jual beli semacam ini tidak diperbolehkan karena adanya ketidakjelasan harga yang dipilih dan tidak ada kejelasan tunai ataukah kredit. Kebanyakan ulama beralasan dengan hadits yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli 2 harga dalam satu jual beli. [1]

Namun jika telah disepakati oleh orang yang melakukan akad sebelum berpisah dari majelis akad antara dua harga tadi (yaitu dibeli secara tunai ataukah kredit), lalu setelah itu mereka berdua berpisah setelah menentukan dua harga tersebut, maka jual beli semacam ini sah, karena harga dan waktu pembayaran telah ditentukan.

***

Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)

_____________________
[1] Hadits tersebut adalah dari Abu Hurairah,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِى بَيْعَةٍ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dua harga dalam satu jual beli.” (HR. Malik, At Tirmidzi dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Sumber : Rumaysho.com

Friday, August 12, 2011

Do'a Meminta Anak yang Sholeh

Setiap orang yang telah berumah tangga atau akan, pasti menginginkan si buah hati. Mungkin ada yang telah menanti bertahun-tahun, namun belum juga dikaruniai buah hati. Juga ada yang menginginkan agar anaknya menjadi sholeh. Maka perbanyaklah do’a akan hal tersebut. Banyak do’a yang telah dicontohkan dalam Al Qur’an dan Al Hadits. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam.

Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,

رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ

Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini adalah do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh. Dalam Zaadul Masiir (7/71), dijelaskan maksud ayat tersebut oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang nanti termasuk jajaran orang-orang yang sholeh.” Asy Syaukani rahimahullahmengatakan apa yang dikatakan oleh para pakar tafsir, “Ya Rabb, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang termasuk jajaran orang-orang yang sholeh, yang bisa semakin menolongku taat pada-Mu”. Jadi yang namanya keturunan terutama yang sholeh bisa membantu seseorang semakin taat pada Allah.

Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam berdo’a,

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38). Maksud do’a ini kata Ibnu Katsirrahimahullah, “Ya Rabb anugerahkanlah padaku dari sisi-Mu keturunan yang thoyyib yaitu anak yang sholeh. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/54)

Seseorang yang telah dewasa dan menginjak usia 40 tahun memohon pada Allah,

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Robbi awzi’nii an asy-kuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala shoolihan tardhooh, wa ash-lihlii fii dzurriyatii, inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin” [Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri] (QS. Al Ahqof: 15). Do’a ini juga berisi permintaan kebaikan pada anak dan keturunan.

Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)

Al Qurtubhi rahimahullah berkata,

ليس شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وأولاده مطيعين لله عز وجل.

Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)

Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhumadengan do’a,

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ

Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480). Dari sini seseorang bisa berdo’a untuk meminta banyak keturunan yang sholeh pada Allah,

اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي

Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii“ (Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri).”

Moga dengan lima do’a di atas, Allah menganugerahkan pada kita sekalian keturunan bagi yang belum dianugerahi dan dikaruniai anak-anak yang sholeh nan sholehah. Aamiin Yaa Samii’ud Du’aa’.

***

Referensi :

  1. Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.
  2. Fiqhud Du’aa’, Musthofa bin Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H.
  3. Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam.
  4. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ismail Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah.
  5. Zaadul Masiir fi ‘Ilmi Tafsir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.

Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : Artikel rumaysho.com

Wednesday, August 10, 2011

Durroh al-Hasyimiyyah Radhiyallahu 'anha

Mutiara ini adalah mutiara yang ajaib, bahkan mungkin orang akan menjadi heran bila mengetahui dari mana keluarnya mutiara ini. Ia terlahir dari kegelapan, dari orang tua yang mati hati dan perasaan. Abu Lahab itulah ayahnya, paman Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi sangat membenci beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan dakwahnya. Adapun ibunya adalah Ummu Jamil, sang pembawa kayu bakar, yang selalu bahu-membahu dengan suaminya untuk menyakiti Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan selalu mempunyai ide-ide gila untuk menghalangi dakwah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Bila Alloh menginginkan kebaikan untuk seseorang, maka Dia akan menunjukkan kebaikan kepadanya dan menjauhkannya dari keburukan. Itulah yang terjadi pada Durroh binti Abi Lahab. Dan berlindungnya ia di bawah naungan Islam adalah suatu yang menakjubkan dan sebuah keistimewaan.

Bagaimana mungkin bukan suatu keistimewaan, Abu Lahab, ayahnya yang selalu menghalangi dakwah Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang membuntuti ke mana saja beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melangkah. Bila beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhenti untuk berbicara dengan satu orang atau sekelompok orang, maka ia akan menghasut orang itu setelah beliau pergi dengan mengatakan,“Janganlah kalian tertipu dengan perkataannya dan terhasut dengan kedustaannya.” Sehingga, orang pun akan ragu kepada perkataan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam karena beranggapan, “Kalau pamannya saja berpendapat seperti itu, maka untuk apa kita mempercayai perkataannya.” Hal ini sangat menyakiti Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan menambah kesusahan serta kegundahannya.

Tidak jauh berbeda dengan Ummu Jamil, ibunya. Hatinya penuh dengan kedengkian dan kebusukan. Kejahatan wanita ini terkadang sudah melampaui batasnya, sampai-sampai ia meletakkan ranjau dan duri di jalan di mana Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lewat. Namun, Alloh tidak akan membiarkan Rosul-Nya celaka. Dia melindungi Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam sehingga duri dan ranjau itu tidak menyakiti beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam suasana seperti itulah Durroh menjalani kehidupannya, hatinya meronta dan membantah perbuatan kedua orang tuanya. Akan tetapi apa daya, ia hanya seorang wanita yang lemah dan tak mampu berbuat sesuatu untuk membantu menjauhkan atau mengurangi kezholiman yang dilakukan kedua orang tuanya terhadap Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Di dalam hatinya ingin sekali ia mengenal agama yang dibawa oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hal itu sangat mustahil karena pengawasan yang ketat dan ancaman dari kedua orang tuanya terhadapnya. Apalagi sang ibunya yang selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, bahkan bila mungkin ia akan menghitung setiap detak jantung dan tarikan napasnya.

Pernah terpikir olehnya untuk meminta tolong kepada kepada kedua saudaranya, Utbah dan Utaibah, karena mereka adalah suami dua putri Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Ruqoyyah dan Ummu Kultsum. Akan tetapi niat itu diurungkannya, karena sebelum ia menyampaikan niatnya, ayahnya telah membuat kejahatan yang baru dengan menyuruh kedua saudaranya untuk menceraikan kedua putri Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hanya untuk menyakiti perasaan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka pun menceraikan istri-istri mereka. Namun Utaibah tidak cukup hanya menceraikan Ummu Kultsum, ia bahkan menarik baju Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan meludahi muka beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rosululloh berdo’a kepada Alloh semoga ia dimakan oleh binatang buas, maka Alloh mengabulkan do’a Rosul-Nya.

Maka tertutup harapan bagi Durroh untuk mengenal Islam. Setelah menikah dengan al-Harits bin Naufal bin al-Harits bin Abdul Mutholib keadaan pun tak jauh berbeda. Suaminya juga seorang musyrik dan juga memusuhi Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Tak ada pilihan baginya kecuali bersabar. Yang ada hanya pengharapan, semoga ia masih diberi umur panjang untuk bertemu dengan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika perang Badar, al-Harits yang berperang di barisan kaum musyrikin terbunuh oleh kaum muslimin. Darinya Durroh dikaruniai tiga orang putra, Uqbah, Walid dan Abu Muslim.

Alloh Subhaanahu wa ta’aala yang maha pedih balasan-Nya memperlihatkan balasan-Nya di dunia terhadap orang-orang yang membangkang dan menyakiti Rosul-Nya. Sebagaimana Utaibah yang mati dimangsa binatang buas, maka Alloh menyiksa Abu Lahab dengan penyakit yang ganas sebelum mati. Penyakit yang membuatnya lumpuh total dan dari tubuhnya keluar bau yang sangat busuk. Tak seorang pun mau mendekatinya, baik anak atau pun teman. Dan ketika ia meninggal, tak ada yang mau mengusung mayatnya ke kuburan karena bau busuk yang bersangatan. Dan diceritakan bahwa ia didorong dengan kayu ke dalam kuburnya kemudian ditimbun dengan tanah dan disiram dengan air. Dan tak lama setelah itu, istrinya Ummu Jamil pun menyusulnya ke alam baka yang mana adzab yang pedih telah menantinya di sana. Na’udzubillahi min dzalik….

Adapun Durroh, setelah itu ia masuk Islam, yang membersihkan dirinya dari gelimang kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju cahaya iman yang terang benderang. Kemudian ia memutuskan untuk menyusul Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.

Setelah sampai di Madinah dan bergabung dalam bahtera islam, Durroh dilamar oleh sahabat Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Dihyah al-Kalby, dan terjadilah pernikahan itu. Dihyah adalah seorang yang mulia dan ia adalah seorang laki-laki yang tampan, yang terkadang Malaikat Jibril menyerupainya bila datang menemui Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Durroh merasa sangat bahagia hidup di Madinah. Hanya saja, ada sesuatu yang terkadang mengganjal perasaannya, pandangan sinis sebagian wanita kepadanya karena ia adalah putri Abu Lahab dan Ummu Jamil. Mereka berkata kepadanya sambil mengejek, “Tak ada guna engkau hijrah, ayah dan ibumu siapa?!”

Durroh merasa sangat sedih mendengar perkataan itu. Akan tetapi akal sehatnya mendorongnya untuk mengadukan hal itu kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta pendapat dan nasihat beliau. Kemudian ia menemui Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan hati hancur dan kesedihan yang tak dapat disembunyikannya dari Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ia menceritakan sikap wanita-wanita terhadapnya, dan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam kemudian menenangkan dan menghiburnya dan menyuruhnya duduk, sementara beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pergi melaksanakan sholat Zhuhur. Setelah melaksanakan sholat, beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar. Beliau duduk diam tanpa mengeluarkan satu kata pun, dan tahulah orang-orang bahwa ada hal yang sangat penting yang akan beliau sampaikan, kemudian beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai manusia! Kenapa ada yang tega menyakitiku dengan menyakiti kerabatku….”

Maka pulanglah Durroh ke rumah dengan hati gembira, dengan pembelaan Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadapnya, karena ia berada pada posisi yang benar. Maka orang yang benar tidaklah boleh takut untuk mengadu, tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Alloh.

Setelah kejadian itu, Durroh memilih untuk lebih sering mengunjungi Ummul Mukminin Aisyah daripada ke tempat lain, baik ketika Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup maupun setelah beliau Shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat. Karena itu adalah yang terbaik baginya, sebab Aisyah adalah wanita yang luas ilmunya, dalam pemahaman agama, kedokteran, fatwa dan juga syair. Karena itulah Durroh banyak meriwayatkan hadits darinya yang menempatkannya dalam kedudukan wanita muslimah yang ahli ibadah.

Maut menjemputnya pada tahun 20 H, pada masa khilafah Umar bin Khoththob Radhiyallaahu ‘anhu. Semoga Alloh meridhoinya, dan menempatkannya di surga yang penuh kenikmatan bersama para nabi dan syuhada serta orang-orang sholih.

[ Oleh: Ustadzah Gustini Ramadhani ]

Referensi:

Usudul Ghobah, Ibnul Atsir

Al-Ishobah fi Tamyiz Shohabah, Ibnu Hajr

Shofahat Musyriqoh min Hayat Shohabiyat, Abdul Majid Tho’mah Halaby

Sumber : Majalah al-Mawaddah Edisi 02 Tahun ke-4

Sunday, August 7, 2011

Do'a Meminta

Saturday, August 6, 2011

Mengganti Puasa Ramadhan Karena Hamil

Tanya: “Assalamu’alaikum. Bagaimana cara saya mengganti puasa Ramadhan yang lalu sedangkan saat ini saya dalam keadaan hamil empat bulan dan puasa Ramadhan tahun depan ini sebentar lagi akan tiba? Terimakasih”. 08572997xxxx

Jawab:

Wa’alaikumussalam.

Jika pada Ramadhan yang lalu ibu tidak berpuasa karena sakit atau bepergian jauh maka ibu berkewajiban mencari waktu yang longgar untuk melakukan puasa qadha meski itu setelah melahirkan dan menyusui. Artinya boleh jadi ibu berpuasa qadha setahun atau dua tahun lagi. Puasa qadha dalam hal ini tidak bisa diganti dengan fidyah.

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Yang artinya, “Dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS al Baqarah:185).

Demikian pula halnya, jika ibu memiliki hutang puasa karena haid. Hutang puasa karena haid tidak bisa dibayar dengan fidyah, harus berupa puasa.

عَنْ مُعَاذَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ عَائِشَةَ فَقُلْتُ مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Dari Mu’adzah, aku bertanya kepada Aisyah, “Mengapa wanita haid itu mengqadha puasa namun tidak mengqadha shalat (yang ditinggalkan selama haid, pent)?”.Aisyah mengatakan, “Apakah engkau adalah wanita Khawarij?”.

Kukatakan, “Aku bukan wanita Khawarij namun aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata, “Dulu (di zaman Nabi) kami mengalami hal tersebut lantas kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat” (HR Muslim no 789).

Artikel : Ustadzaris.com/

Thursday, August 4, 2011

Buah Kejujuran

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair). Nabi berkata, “Hai Mu’adz.”Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.”Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali. Nabi pun bersabda, “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali Allah pasti akan mengharamkan dia dari tersentuh api neraka.” Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”. Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”. Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadits ini karena khawatir terjerumus dalam dosa (menyembunyikan ilmu) (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [1/273] dan Syarh Muslim [2/73-76], ini adalah lafaz Bukhari)

Hadits yang agung ini menyimpan pelajaran penting, di antaranya:

  1. Diperbolehkan mengkhususkan suatu bagian dari ilmu kepada sekelompok orang tanpa memberitahukannya kepada kepada kelompok lainnya karena dikhawatirkan mereka tidak bisa memahaminya yang mengakibatkan mereka terjatuh dalam kekeliruan (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-’Ilm, hal. 43)
  2. Dianjurkan untuk memberi nama pada binatang tunggangan atau kendaraan yang dimiliki (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab al-Jihad wa as-Siyar, hal. 601)
  3. Diperbolehkan seseorang untuk membonceng kepada orang lain -berdua- di atas seekor keledai atau kendaraannya, dengan syarat tidak menyulitkan bagi hewan atau kendaraan tersebut (lihat Shahih al-Bukhari,Kitab al-Libas, hal. 1233, Fath al-Bari [11/384], al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/33])
  4. Yang dimaksud dengan bersaksi ‘secara jujur dari dalam hatinya’ adalah dia mengucapkan syahadat tersebut dengan tulus, tidak sebagaimana syahadatnya kaum munafikin yang dilandasi dengan kedustaan dan kepura-puraan. Artinya orang tersebut mengucapkan syahadat itu dengan lisannya dan hatinya pun membenarkan isinya (lihat Fath al-Bari [1/274])
  5. Hadits ini menunjukkan bahwa salah satu syarat diterimanya syahadat adalah harus diucapkan dengan jujur, bukan pura-pura atau dilandasi dengan keudustaan (lihat at-Tanbihat al-Mukhtasharah Syarh al-Wajibat, hal. 51-52)
  6. Hadits ini menunjukkan ketawadhu’an Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Fath al-Bari [11/384])
  7. Hadits ini menunjukkan keutamaan Mu’adz bin Jabal dan kelembutan adabnya dalam bertutur kata (lihat Fath al-Bari [11/384])
  8. Hadits ini juga menunjukkan kedekatan hubungan antara Mu’adz dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihatFath al-Bari [11/384])
  9. Hadits ini juga menunjukkan kedalaman ilmu Mu’adz bin Jabal yang mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengkhususkan ilmu -yang membawa resiko berat- ini kepada dirinya (lihat Fath al-Bari [1/275])
  10. Dianjurkan untuk mengulangi ucapan -ketika mengajar- dalam rangka memberikan penegasan dan menanamkan pemahaman dengan sebaik-baiknya (lihat Fath al-Bari [11/384])
  11. Sebagian ulama menjelaskan bahwa dari hadits ini juga bisa dipetik pelajaran tidak bolehnya mempopulerkan hadits-hadits tentang rukhshah/keringanan kepada masyarakat umum karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman dalam diri mereka (lihat Fath al-Bari [11/384])
  12. Hadits ini menunjukkan bahwa intisari dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah tabaraka wa ta’ala (lihat Shahih al-Bukhari, Kitab at-Tauhid, hal. 1467)
  13. Hadits ini menunjukkan dianjurkan untuk menyampaikan sesuatu yang bisa menggembirakan hati sesama muslim (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/31])
  14. Larangan bersandar kepada keluasan rahmat Allah yang menyebabkan tumbuhnya perasaan aman dari makar Allah (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/31])
  15. Hadits ini menunjukkan wajibnya menyampaikan ilmu dan menyembunyikannya merupakan perbuatan dosa (lihatFath al-Bari [1/275])
  16. Hadits ini menunjukkan bahwa seorang murid boleh meminta penjelasan tambahan kepada gurunya akan sesuatu yang terasa meragukan atau belum mapan di dalam pikirannya (lihat Fath al-Bari [1/275])
  17. Hadits ini juga menunjukkan semestinya seorang murid meminta ijin kepada gurunya yang telah mengajarkan kepadanya suatu ilmu khusus yang tidak diberikan kepada selainnya apabila akan menyebarkan ilmu tersebut (lihat Fath al-Bari [1/275])
  18. Tindakan Mu’adz menyampaikan hadits ini menjelang kematiannya setelah adanya larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan bahwa Mu’adz memahami larangan tersebut bukan mengandung hukum haram, akan tetapi dalam rangka menyelamatkan sebagian orang dari kesalahpahaman (lihat Fath al-Bari [1/275])
  19. Hadits ini menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Beliau berusaha keras untuk menutup segala celah yang mungkin mengantarkan mereka menuju kehancuran. Di antaranya adalah upaya beliau agar umatnya tidak salah paham dalam menyikapi hadits-hadits yang menceritakan keutamaan tauhid.
  20. Hadits ini juga -secara tidak langsung- menunjukkan keutamaan ilmu agama dan kepahaman di dalamnya. Karena dengan pemahaman yang benar akan membentengi seseorang dari kekeliruan bersikap dan mengambil tindakan.
  21. Hadits ini menunjukkan bahwa pemahaman tauhid yang benar tidak akan membawa pemiliknya untuk bersandar kepada rahmat Allah semata dan merasa aman dari makar-Nya. Justru sebaliknya, kita temukan bahwa orang-orang yang telah diakui ketauhidannya dan menjadi teladan di dalamnya adalah sosok manusia yang sangat khawatir terjerumus ke dalam kemusyrikan dan kemunafikan. Lihatlah doa yang dipanjatkan oleh Nabi Ibrahim‘alaihis salam! “Ya Allah jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah patung-patung.” (QS. Ibrahim: 35). Dan lihatlah para sahabat yang merasa khawatir dirinya terjangkit kemunafikan… Lalu bagaimanakah lagi dengan keadaan kita yang baru belajar tauhid kemarin sore?! Nas’alullahas salamah.
  22. Hadits ini juga menunjukkan betapa besar semangat generasi salaf dalam menyebarkan ilmu, bahkan meskipun di saat-saat menjelang kematian mereka!
  23. Hendaknya seorang da’i memperhitungkan maslahat dan madharat dari metode dakwah yang dia jalankan. Tidak semua kebenaran harus disampaikan dalam satu waktu dan kesempatan. Bisa jadi yang terbaik adalah menunda penyampaiannya di waktu yang lain demi mengantisipasi madharat yang lebih besar
  24. Pemahaman tauhid yang benar akan mengantarkan seseorang untuk bersemangat dalam beramal demi menggapai kedekatan diri dengan-Nya dan agar dirinya bisa menjadi seorang hamba yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Tidakkah kita ingat keteladanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -manusia terhebat dalam mewujudkan tauhid-? Ternyata, beliau tidak bermalas-malasan, bahkan beliau sholat malam sampai telapak kakinya pecah-pecah!! Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita di hari ini ayyuhal ikhwah! Allahumma arinal haqqa haqqa warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathila warzuqna jtinabah… Aduhai, betapa sering muncul anggapan bahwa kita telah paham tauhid, namun kenyataannya kita adalah orang yang paling bodoh tentangnya.Wallahul muwaffiq.
Artikel www.muslim.or.id

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi