Sunday, January 31, 2010
Menjaga Kebaikan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Allah berfirman.
“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” [Ar-Ra’du : 11]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai kembali” [An-Nahl : 92]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras” [Al-Hadid : 16]
Dan Allah berfirman.
“Artinya : Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya” [QS Al-Hadid : 27]
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Ya Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi” [Muttafaqun ‘Alaihi]
Penjelasan
Berkata Imam Nawawi (semoga Allah merahmati beliau) : “Bab menjaga kebaikan”. Yaitu bahwasanya seseorang jika terbiasa mengerjakan kebaikan maka sepatutnya mengekalkannya (menjaganya). Misalnya jika ia sudah terbiasa tidak meninggalkan hal-hal yang sunnah, yaitu shalat-shalat sunnah yang mengiringi shalat-shalat wajib, maka hendaknya ia menjaga hal itu, Dan jika ia terbiasa melaksanakan shalat malam maka hendaknya ia menjaganya. Dan jika terbiasa shalat dhuha dua rakaat maka hendaknya menjaga hal itu, segala kebaikan yang ia terbiasa mengerjakannya hendaknya ia jaga.
Dari petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya amalan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus. Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengerjakan suatu amalan, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kontinyukan dan tidak merubahnya, yang demikian itu dikarenakan jika manusia sudah terbiasa berbuat dan mengamalkan kebaikan lalu meninggalkannya, sesungguhnya hal ini membuatnya membenci kebaikan, karena mundur sesudah maju adalah lebih jelek daripada tidak maju, maka kalau seandainya engkau belum mulai melakukan kebaikan, tentulah hal iti lebih ringan daripada engkau telah melakukannya lalu engkau tinggalkan, dan hal ini adalah sesuatu yang telah terbukti.
Imam Nawawi (semoga Allah merahmatinya) mengutip dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur’an, yang kesemuanya menunjukkan bahwasanya manusia sepatutnya menjaga kebiasaan amal baiknya, diantaranya firman Allah.
“Artinya : Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”
[An-Nahl : 92]
Maknanya adalah : “Janganlah kalian seperti wanita pemintal yang memintal kain wol, lalu tatkala ia sudah memintal dan membaguskannya ia robek-robek dan menguraikannya, (janganlah seperti ini) tetapi hendaknya kalian tetap dan kontinyu terhadap apa yang telah kalian lakukan.
Diantaranya firman Allah
“Artinya : Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”
[Al-Hadid : 16]
Artinya : Bahwasanya mereka beramal dengan amal shalih tetapi berlalulah masa yang panjang maka keraslah hati-hati mereka lalu mereka tinggalkan amal-amal shalih itu, maka janganlah kalian seperti mereka..
Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam Nawawi (diantaranya : hadits Abdullah bin Amru bin Al-Ash bawasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakan lagi”
Kata-kata fulan adalah kata “kinayah” tentang seorang manusia (seorang lelaki). Sedangkan perempuan dikatakan “fulanah”, dan kata fulan dalam hadits ini bisa terjadi adalah perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan namanya kepada Abdullah bin Umar untuk menutupi keadaannya, karena maksud dari perkara itu tanpa pelakunya, dan mungkin juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan nama lelaki itu tetapi disamarkan namanya oleh Abdullah bin Amru.
Dari dua kemungkinan diatas, inti dan pokoknya adalah amal. Dan perkaranya adalah seorang lelaki, dahulunya mengerjakan shalat malam, lalu setelah itu tidak menjaganya (mengekalkannya), padahal mengerjakan shalat malam hukum pokoknya adalah sunnah, kalaulah manusia tidak melakukannya maka tidaklah ia dicela, dan tidak dikatakan kepadanya : “Mengapa kamu tidak mengerjakan shalat malam?”. Karena shalat malam adalah sunnah, akan tetapi keadaannya yang mana ia mengerjakan shalat malam lalu tidak mengerjakannya, inilah keadaan yang menyebabkan ia dicela. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaa : “Janganlah kamu seperti si fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak mengerjakannya lagi”.
Hal yang lain, dan ini merupakan yang terpenting, hendaknya seseorang memulai untuk menuntut ilmu syar’i, tatkala Allah membukakan baginya kenikmatan ia tinggalkan amalnya (menuntut ilmu syar’i), maka sesungguhnya hal ini adalah kufur terhadap nikmat yang Allah berikan padanya. Maka jika engkau memulai menuntut ilmu teruslah menuntut ilmu kecuali sesuatu yang sangat darurat menyibukanmu, dan kalau tidak ada penghalang maka teruslah menuntut ilmu karena menuntut ilmu hukumnya fardu kifayah, setiap orang yang menuntut ilmu sesungguhnya Allah akan membalas amalnya itu dengan pahala fardu (wajib).
Dan pahala fardhu adalah lebih besar dari pahala nafilah (sunnah), sebagaimana tersebut dalam hadits shahih bahwasanya Allah berfirman.
“Artinya : Tiadalah hambaku mendekatkan kepadaku dengan sesuatu yang lebih aku sukai dari apa yang aku wajibkan kepadanya” [Hadits Riwayat Bukhari 6502]
Menuntut ilmu adalah fardhu kifayah jika seseorang menegakkannya maka berarti ia mewakili umat dalam melaksanakannya.
Dan terkadang menuntut ilmu itu hukumnya fardhu ain jika seorang manusia membutuhkan ilmu itu untuk dirinya, sebagaimana ia berkeinginan untuk shalat ia harus belajar hal-hal yang berhubungan dengan hukum shalat. Dan barangsiapa yang mempunyai harta ia harus mempelajari hukum-hukum zakat, penjual dan pembeli harus memperlajari hukum-hukum jual beli, dan barangsiapa yang ingin menunaikan haji maka harus mempelajari hukum-hukum haji, ini hukumnya fardhu ain.
Adapun ilmu-ilmu yang lain, mempelajarinya adalah fardhu kifayah, jika seseorang memulai menuntut ilmu maka jangalah ia kembali (mundur), tetapi hendaknya ia terus menuntut ilmu kecuali jika ada suatu hal penting menghalanginya dari menuntut ilmu, hal ini lain lagi keadaannya. Oleh karena itu orang-orang munafik adalah mereka yang jika memulai suatu amal, mereka tinggalkan amal itu.
Dalam perang Uhud sekitar seribu orang keluar untuk berperang bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sepertiganya adalah orang-orang munafik. Mereka tidak meneruskan perjalanan dan berkata.
“Artinya : Sekiranya kami mengetahui terjadi peperangan tentulah kami mengikuti kamu” [Ali-Imran : 167]
Allah berfirman.
“Artinya : Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran dari keimanan” [Ali-Imran 167]
Sepatutnya bagi seorang muslim jika Allah memberikan karunia kepadanya dengan sesuatu yang mana ia beribadah kepada Allah dengannya dengan ibadah yang khusus seperti shalat, atau ibadah-ibadah mutaadiyah (yang bermanfaat kepada selainnya) seperti menuntut ilmu hendaknya ia tidak mundur dan tidak terlambat, hendaknya ia terus menerus untuk hal itu, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dari sebagian petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sabdanya.
“Artinya : Janganlah kamu seperti fulan, dahulu ia shalat malam lalu ia tidak kerjakan lagi”
Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk
[ Disalin dari majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 9 Th. II 2004M/1425H. Penerbit Ma’had Ali bin Abu Thalib, Surabaya ]
Harap Dan Takut Buah Keikhlasan
Oleh
Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz
Seorang mu'min haruslah berharap dan cemas atas setiap amal baik yang ia kerjakan, ia berharap mendapatkan rahmat Allah dan cemas kalau-kalau amal baik yang ia kerjakan tidak diterima oleh Allah Subhana waTa'ala.
Imam Bukhari rahimahullah menamakan sebuah bab dalam kitab Al-Iman dengan Bab khaufil mu'min min an yahbatha a'maluhu wa huwa la yasy'ur, artinya "Bab takutnya seorang mu'min kalau-kalau amalannya terhapus sedang dia tidak menyadarinya". Kemudian beliau membawakan ucapan Ibrahim At-Taimi rahimahullah secara mu'allaq. [Dan dalam kitab Tarikhnya beliau meriwayatkannya secara maushul sebagaimana dijelaskan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitab Fathul Baari juz 1 hal.136 :
Dan Ibrahim At-Taimi berkata. "Apabila saya mempertimbangkan antara ucapanku dan amalanku saya takut kalau-kalau saya termasuk seorang pendusta."
Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata. "Ucapan beliau (Imam Bukhari, pent) : "Dan Ibrahim At-Taimi berkata," dia adalah termasuk ahli fiqh Tabi'in dan ahli ibadah di kalangan mereka, dan ucapannya diriwayatkan dzalnya berfathah, yaitu : Saya takut orang yang melihat amalku bertentangan dengan ucapanku akan mendustakanku, (maksudnya) ia berkata: Jika engkau benar tentu perbuatanmu tidak bertentangan dengan ucapanmu, ia mengucapkan demikian ketika ia sedang memberi nasehat kepada manusia. Dan diriwayatkan pula huruf dzalnya berkasrah, dan yang ini paling banyak riwayatnya, adapun maknanya, meskipun ia seorang pemberi nasehat kepada manusia, ia merasa bahwa amalannya belum mencapai target yang semestinya. Dan Allah mencela orang yang ber-amar ma'ruf nahi munkar, sedang dia lalai dalam segi amal, sebagaimana dalam firmanNya.
"Amat besar kebencian di sisi Allah, kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan."
[QS As-Shaff : 3]
Maka dia takut seperti para pendusta.[1]
Selanjutnya Imam Bukhari rahimahullah menyebutkan ucapan Ibnu Abi Mulaikah secara mu'alaq juga. [2]
"Dan Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Saya mendapatkan tiga puluh orang dari para shahabat Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, mereka semuanya takut kalau dirinya terjangkit penyakit nifak, tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengatakan bahwa dirinya seperti imannya Jibril dan Mikail".[3]
Al Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata. "Yang demikian dikarenakan seorang mu'min mungkin sekali datang kepadanya sesuatu yang menodai amalnya sehingga berubah niatnya menjadi tidak ikhlas. Tidak berarti mereka terjerumus kepada kemunafikan, dikarenakan ketakutan mereka tersebut, tetapi ini menunjukkan keutamaan mereka dalam hal wara' dan taqwa, semoga Allah meridhai mereka semuanya."
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, istri Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, ia berkata : Saya bertanya kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam tentang ayat ini "Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut." [QS Al-Mu'minun 60].
Apakah mereka itu orang-orang yang meminum minuman keras dan mencuri?
Beliau menjawab, "Bukan! Wahai putri Ash-Shidiq! Akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang berpuasa, menjalankan shalat, bershadaqah dan mereka takut kalau-kalau amal baik mereka itu tidak diterima, mereka itulah orang-orang yang bersegera untuk mendapatkan kebaikan-kebaikan.[4]
Saudara-saudaraku sekalian, pada kesempatan ini saya nukilkan tulisan Imam Adz Dzahabi rahimahullah dalam bukunya SiyarA'laami An-Nubalaa ketika beliau menulis biografi Al-Allamah, Al Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Abi Hatim Ar Razi rahimahullah (327H), Imam AdzDzahabi rahimahullah berkata.
"Dan Abu Ar Rabi' Muhammad bin Al Fadhl Al Balkhi berkata, "Saya mendengar dari Abu Bakr Muhammad bin Mahrawaih Ar Razi, saya mendengar dari Ali bin Al-Husein bin Al Junaid, saya mendengar dari Yahya bin Ma'in bahwasanya ia berkata, "Sesungguhnya kami mencela manusia, padahal mungkin mereka yang dicela tersebut telah disediakan tempat mereka di Surga sejak dua ratus tahun yang lalu (sejak wafatnya, pent)"." Saya berkata (yaitu Imam Adz-Dzahabi, pent), "Barangkali yang benar sejak seratus tahun yang lalu, karena sesungguhnya di zaman Yahya belum sampai ke angka tersebut."
Ibnu Mahrawaih berkata, "Maka saya masuk menemui Abdurrahman bin Abi Hatim dan dia sedang membacakan buku Al-Jarhu wat Ta'dil kepada manusia, lalu saya sampaikan perkataan Yahya bin Ma'in, maka beliau menangis, dan kedua tangannya gemetar sampai mengakibatkan bukunya terjatuh, dan terus menangis sambil meminta kepadaku untuk mengulangi hikayat tersebut.
Saya berkata (Yaitu Imam Adz-Dzahabi,pent), "Dia menempuh jalan gentar dan takut akan akibat yang buruk, padahal ucapan pengkritik yang wara' mengenai orang-orang dhu'afa, termasuk nasehat bagi dien Allah dan dalam rangka membela As Sunnah.[5]
Semoga kisah di atas menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua.
Wahai Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati-hati kami agar selalu dalam keadaan istiqamah di atas dien Mu yang lurus, dan kami memohon kepadaMu untuk mengakhiri kehidupan di dunia ini dengan kesudahan yang baik.
Dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk
[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam]
__________
Foote Note
[1]. Fathul Bari, juz 1 hal.136
[2]. Dimaushulkan oleh Abu Zur'ah Ad-Dimasyqi dalam Tarikh-nya dan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam Tarikh-nya dan Muhammad Ibnu Nashr Al-Marwazi dalam kitabnya Al-Iman, meskipun keduanya tidak menyebutkan jumlah shahabat, begitulah seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Hajardalam Fathul Bari, Juz 1hal. 136
[3]. Shahih Al Bukhari, hal 14
[4]. H.R. Tirmidzi (2/201), Ibnu Jarir (10/26), Al-Hakim (2/393-394) dan Al-Baghawi dalam tafsirnya (6/25)dan Ahmad (6/159 dan 205).Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah No.162)
[5]. Siyar A'lami An-Nubala', juz 13 hal.268
sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/1841/slash/0
Tanda-Tanda Ilmu Yang Bermanfaat
- 1. Orang yang bermanfaat ilmunya tidak peduli terhadap keadaan dan kedudukan dirinya serta hati mereka membenci pujian dari manusia, tidak menganggap dirinya suci, dan tidak sombong terhadap orang lain dengan ilmu yang dimilikinya.
Imam al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Orang yang faqih hanyalah orang yang zuhud terhadap dunia, sangat mengharapkan kehidupan akhirat, mengetahui agamanya, dan rajin dalam beribadah.” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Ia tidak iri terhadap orang yang berada di atasnya, tidak sombong terhadap orang yang berada di bawahnya, dan tidak mengambil imbalan dari ilmu yang telah Allah Ta’ala ajarkan kepadanya.” [1]
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan mereka tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham. Mereka hanyalah mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” [3]
- Ilmu tentang Allah, Nama-Nama, dan sifat-sifat-Nya serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Contohnya adalah sebagaimana Allah menurunkan surat al-Ikhlaash, ayat Kursi, dan sebagainya.
Saturday, January 30, 2010
Jika Pria Harus Jatuh Cinta
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda (artinya): “Ada tiga perkara apabila terdapat pada diri seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman. (1) Ia menjadikan Allah dan Rosul-Nya lebih dicintainya daripada selain keduanya. (2) Ia mencintai seseorang karena Allah, ia membenci seseorang hanya kepada Allah, (3) Ia sangat benci kembali kepada kekufuran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam api.”(HR Bukhori - Muslim)
Makna Ikhlas
“Artinya : Aku adalah Dzat Yang paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu ; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang didalamnya dia mempersekutukan-Ku dengan sesuatu selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya berserta kesyirikan yang diperbuatnya” [1]
“Artinya : Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuai neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” [Hud : 15-16]
“Artinya : Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabb-mu” [Al-Baqarah : 198]
“Artinya : Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat ; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah” [At-Taubah : 58]
Di dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata : ‘Wahai Rasulullah, (bagaimana bila ,-penj) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak mendapatkan pahala” Orang tadi mengulangi lagi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala” [2]
“Artinya : Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut” [3]
Macam-Macam Hati
"Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah kalian bersikap lancing (mendahului) Allah dan RasulNya, dan bertaqwalah kepada Allah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Pengaruh Berbakti Kepada Kedua Orang Tua
“Demikianlah ganjaran dari berbakti, demikianlah ganjaran dari berbakti”
“Ketika ada tiga orang berjalan-jalan tiba-tiba mereka kehujanan, lalu mereka berteduh di dalam gua pada sebuah gunung. Ketika mereka tengah berada di dalam gua itu, tiba-tiba ada batu besar yang jatuh sehingga menutupi mulut gua tersebut. Lalu sebagian mereka berkata kepada sebagian lainnya, ‘Lihatlah pada amalan yang paling baik yang pernah kalian kerjakan, lalu mohonlah kepada Allah dengan amalan tersebut, siapa tahu akan dibukakan celah pada batu tersebut bagi kalian.’ Lalu salah seorang di antara mereka berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang sudah lanjut usia sementara aku memiliki isteri dan juga anak-anak yang masih kecil. Dan aku memelihara mereka. Karenanya, jika aku telah mengandangkan kambingku, aku mulai mengurus kedua orang tuaku, dimana aku memberi minum susu keduanya. Kemudian aku tidak mendatanginya sehingga kedua orang tuaku tidur. Kemudian aku membersihkan bejana, lalu memerah susu. Selanjutnya aku membawa susu itu dekat kepala kedua orang tuaku sementara anak-anak bergelantungan di kedua kakiku, karena aku tidak ingin memulai mengurus mereka sebelum mengurus kedua orang tuaku dan aku tidak ingin membangunkan keduanya. Dan aku masih terus berdiri sampai fajar bersinar terang. Ya Allah, jika Engkau tahu bahwa aku melakukan hal itu dalam rangka mencari keridhaan-Mu, maka bukakanlah untuk kami sebuah celah dimana kami dapat melihat langit darinya. Maka Allah pun membukakan celah bagi mereka sehingga mereka dapat melihat langit darinya… [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
‘Umar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Akan datang kepada kalian Uwais bin ‘Amir dari rombongan penduduk Yaman dari Murad dan kemudian dari Qaran. Di mana padanya terdapat penyakit kusta, kemudian sembuh darinya kecuali satu tempat pada tubuhnya sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu yang dia sangat berbakti kepadanya. Jika dia bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya. Oleh karena itu, jika engkau bisa meminta kepadanya supaya memohonkan ampunan untukmu, maka lakukanlah”
Dari ‘Abdullah bin Dinar dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ada seseorang dari Arab badui menemuinya pada satu jalan di Makkah, lalu ‘Abdullah bin ‘Umar memberinya salam dan membawanya di atas keledai yang ia tumpangi dan dia berikan penutup kepala yang ada di atas kepalanya. Ibnu Dinar berkata, “Lalu kami katakan kepadanya, ‘Semoga Allah memperbaiki keadaanmu, sesungguhnya dia itu termasuk orang-orang badui dan orang-orang badui ridha dengan pemberian yang sedikit” lalu ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Sesungguhnya bapak orang ini adalah sahabat baik ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu dan sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kebaikan yang paling baik adalah menyambung tali silaturahmi yang dilakukan oleh seseorang terhadap keluarga orang kecintaan ayahnya” [HR. Muslim]
Warisanku Hanya Satu Dinar
oleh : Izzudin Karimi Benar... hanya satu dinar. sepintas tidak ada yang unik atau aneh, namun tahukah Anda berapa harta peninggalan mayit? Ternyata enam ratus dinar, bagaimana seorang ahli waris hanya mendapatkan satu dinar saja dari enam ratus? Jangankan Anda, orang sekelas Abdul Malik bin Marwan, khalifah Umawi di zamannya, juga tidak mengerti. Seorang wanita datang kepada Abdul Malik bin Marwan dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saudaraku wafat dan dia meninggalkan enam ratus dinar, namun aku hanya mendapatkan warisannya satu dinar saja.” Abdul Malik tidak menjawab, dia meminta agar asy-Sya’bi, Amir bin Syarahil, seorang tabiin besar, dihadirkan. Asy-Sya’bi menjelaskan, “Mayit wafat sementara ahli warisnya adalah dua anak perempuan, ibu, istri, dua belas orang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Bagian dua anak perempuan adalah dua pertiga, empat ratus. Bagian ibu adalah seperenam, seratus. Bagian istri adalah seperdelapan, tujuh puluh lima. Sedangkan saudara-saudaranya baik yang laki-laki maupun yang perempuan adalah ashabah, bagian mereka adalah sisa yaitu dua puluh lima, selanjutnya bagian saudara laki-laki adalah dua kali bagian saudara perempuan, maka dua puluh empat adalah milik dua belas orang saudara laki-laki, masing-masing mendapatkan dua, yang tersisa adalah satu, bagian saudara perempuan dan dia adalah wanita itu.” sumber : http://www.alsofwah.or.id/index.php?pilih=lihatsastra&id=97 Semoga Bermanfaat... Tafadhol di share bagi yang berkenan...
Cinta Dunia Tanda Kehancuran
oleh : Abu Mas’ud al-Atsari Wahai kaum muslimin—semoga Alloh memberikan hidayah-Nya kepada kita—cinta adalah pokok seluruh amalan. Tidaklah seseorang mengerjakan sesuatu melainkan demi meraih apa yang ia cintai, apakah itu sesuatu yang membawa manfaat baginya atau sesuatu yang bisa menangkal madhorot (bahaya) yang akan menimpanya. Dengan cinta seseorang bisa mencapai kebahagiaan. Dengan cinta pula seseorang akan terjerumus ke dalam lembah kenistaan. Surga yang penuh kenikmatan bisa diraih dengan cinta. Begitu pula neraka yang penuh dengan kesengsaraan, orang bisa masuk ke dalamnya disebabkan cinta pula. Lantas bagaimanakah jika seseorang lebih mencintai urusan dunia daripada halhal yang bisa mengantarkan pada kebahagiaan akhirat yang abadi? Indahnya Dunia Menurut Pandangan Islam “Dunia” bila dilihat dari asal katanya berarti sesuatu yang rendah. Al-Qur‘an sendiri mengatakan di banyak ayatnya bahwa dunia itu hanyalah senda gurau dan permainan. Ia merupakan kehidupan yang fana dan pasti akan berakhir. Alloh berfirman :
Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main main, dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (QS al-'Ankabut : 64)
“Demi Allah, kalau seandainya kambing ini masih hidup maka ia ada cacatnya karena telinganya tersebut, lalu bagaimana jika ia sudah menjadi bangkai dan dalam keadaan seperti itu?” Maka dengan bijak Rosululloh shalallahu 'alaihi wasallam memberi pengarahan kepada para sahabatnya dengan mengatakan: “Demi Alloh, sungguh dunia ini lebih hina daripada seekor kambing ini.” (HR Muslim: 2957)Walaupun demikian, bukan berarti kita harus meninggalkannya seperti yang dilakukan orang-orang sufi. Akan tetapi, kita memanfaatkan dunia sekadarnya saja karena dunia ini diciptakan oleh Alloh hanyalah sebagai sarana untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di akhirat kelak. Cinta Dunia Adalah Tabiat Manusia Di antara sifat manusia yang merupakan bawaan sejak lahir adalah cinta akan bapak, ibu, suami, istri, anak, harta yang melimpah, nyaman dan mewahnya kendaraan, banyaknya binatang ternak, dan suksesnya perniagaan. Hal ini bisa jadi lumrah lantaran itu semua memang salah satu tabiat manusia sebagaimana firman Alloh :
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allohlah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali 'Imron : 14)"Cinta bawaan” ini akan membuahkan kebahagiaan yang berlipat ganda bila pemiliknya tidak mencurahkan semua benihbenih cinta tersebut dalam hatinya hanya melulu kepadanya. Namun, ia mencintainya sekadar sebagai sarana untuk menggapai keridhoan Robbul ’alamin (Alloh 'azza wa Jalla) dengan menunaikan segala kewajibanNya serta meninggalkan semua hal-hal yang membuat Dia murka. Ciri-Ciri Pencinta Dunia Sebenarnya banyak ciri-ciri orang yang lebih mencintai dunia daripada akhirat. Akan tetapi akan kami sebutkan beberapa saja, di antaranya :
- Seseorang yang mencintai sesuatu tentu akan senang dan akan menyebut-nyebut sesuatu yang ia cintai dan sangat senang bercengkerama dengannya. Ia akan merasa damai dan tenteram bila berada di sampingnya. Bila berjauhan ia akan merasa terus merindukannya dan ingin selalu berjumpa dengannya. Bila berpisah dengannya akan terasa sangat berat baginya.
- Orang yang cinta kepada sesuatu pastilah lebih mengutamakan apa yang dicintainya daripada yang lain. Demi mendapatkan apa yang ia cintai, ia rela mengorbankan harta, waktu, dan bahkan nyawa. Ini terbukti dengan makin banyaknya aturan-aturan Islam yang ia tinggalkan karena tergoda dengan gemerlapnya dunia yang telah menipunya. Maka siapa saja yang merasa pada dirinya ada sifat-sifat ini ketika menghadapi kenikmatan dunia maka ia termasuk orang yang cinta dunia secara tidak proporsional (menempatkan pada tempatnya) bahkan berlebih lebihan.
- Harga dirinya akan hina di hadapan para musuhnya sehingga laksana makanan dalam piring yang siap untuk disantap. Sebagaimana sabda Rosululloh yang artinya : “Hampir saja umat-umat (kafir) mengerumuni kalian sebagaimana mereka mengerumuni makanan di sebuah piring.” Salah seorang di antara mereka bertanya: “Apakah jumlah kita pada waktu itu sangat sedikit?” Rosululloh menjawab: “Kalian pada waktu itu sangat banyak jumlahnya tetapi seperti buih yang ada di lautan. Alloh akan menghilangkan rasa takut dari musuh-musuh kalian dan memberikan al-Wahn pada hati-hati kalian.” Lantas ada yang bertanya: “Apakah al-wahn itu wahai Rosululloh?” Rosulullloh n menjawab : Cinta dunia dan takut mati.” (HR Abu Dawud : 4297 dan dishohihkan Syaikh al-Albani dalam ash-Shohihah : 2/684)
- Sebagai sebab yang bisa mengundang datangnya siksa Alloh (QS at-Taubah : 24)
- Yang lebih parah lagi, ketika di akhirat ia akan menempati neraka yang telah disediakan oleh Alloh, berdasarkan firman Alloh : Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). (QS an-Nazi’at : 3739)
- Sadarilah bahwa kenikmatan dunia itu hanyalah bersifat sementara sedangkan kenikmatan akhirat itu bersifat kekal nan abadi. (QS al-Mukmin : 39)
- Cermatilah kehidupan orangorang terdahulu. Bandingkanlah pencinta dunia—seperti Qorun, Haman, Fir’aun, dll. dengan pencinta negeri akhirat—seperti para nabi dan rosul, sahabat Rosululloh, dll. dan lihatlah apa yang mereka peroleh dari perbuatan mereka.
- Do’a merupakan senjata bagi seorang muslim. Oleh karena itu, berdo’alah kepada Alloh supaya Dia tidak menjadikan dunia ini sebagai cita-cita (tujuan) terbesar hidup kita.
- Lihatlah orang-orang yang lebih rendah daripada engkau (dari segi ekonomi) dan jangan melihat kepada orangorang yang di atasmu, karena hal itu bisa menambah untuk bisa bersyukur kepada Alloh dan tidak berambisi terhadap kenikmatan dunia. Demikianlah yang bisa kami bahas dalam edisi kali ini. Semoga Alloh mengampuni kekurangan dan kesalahan yang ada di alamnya.