Syaikh Shâlih bin Fauzân hafizhahullâh ditanya:
Bagaimanakah shalat tarawih, tahajjud dan witir Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dilihat dari jumlah raka'at, cara dan waktunya?
Beliau menjawab:
Riwayat yang shahîh dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bahwa Beliau tidak pernah shalat pada bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih dari sebelas raka’at.[1]
Dalam riwayat lain, tidak lebih dari tiga belas.[2]
Akan tetapi, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam memperlama berdiri, sujud dan memperbanyak do’a pada saat ruku‘ dan sujud, sampai-sampai diceritakan dalam riwayat Hudzaifah radhiyallâhu'anhu bahwa Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membaca al-Baqarah, an-Nisâ‘ dan Ali ‘Imran.
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam membaca dengan pelan-pelan. Beliau berdo’a saat membaca ayat-ayat tentang rahmat, dan memohon perlindungan ketika membaca ayat-ayat tentang siksa Allâh Ta'ala. Jika melewati ayat yang mengandung tasbih, Beliau bertasbih. Waktu ruku‘ Beliau hampir sama dengan lama berdirinya,[3]sujudnya hampir sama dengan ruku’nya.
Inilah sunnah Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dalam shalat malam dan tahajjud Beliau secara umum. Seorang muslim hendaklah shalat sesuai dengan kemampuannya. Jika dia mengikuti Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maka itu bagus.
Waktu melaksanakan shalat tahajjud ialah sepanjang malam. Akan tetapi, yang paling bagus ialah pada akhir malam, saat Allâh Ta'ala turun pada sepertiga malam terakhir.[4]
(Adapun) cara shalatnya, yaitu shalat dua raka’at-dua raka’at, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنىَ مَثْنىَ
Shalat malam itu dua dua.[5]
Sedangkan mengenai witir, disebutkan oleh para ahli ilmu bahwa witir itu, minimal satu raka’at, dan maksimal sebelas atau tiga belas raka’at. Untuk ukuran kesempurnaan yang paling rendah ialah tiga raka’at dengan dua kali salam.
Bagi seorang muslim semestinya shalat bersama imam sampai ia selesai, serta menyempurnakan shalat witir dengan imam. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam :
مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam selesai,
maka dicatat untuknya shalat satu malam.[6]
Jika ingin menambah pada akhir malam, maka dia bisa shalat tahajjud, dan cukup baginya witir yang pertama, tidak perlu mengulangi witir dua kali. Cukuplah baginya shalat witir yang dikerjakan bersama imam, dan setelah itu dia tidak dilarang melakukan shalat tahajjud.
(Al-Muntaqâ min Fatâwâ Fadhilatisy- Syaikh Shâlih bin Fauzân, 4/49-51)
Syaikh Shâlih bin Fauzân hafizhahullâh ditanya:
Apa hukum shalat tarawih dan tahajjud? Kapan waktunya? Berapa jumlah raka’atnya? Bolehkah melakukan shalat tahajjud bagi orang yang sudah melaksanakan shalat sunnah witir setelah tarawih? Haruskah shalat tarawih bersambung dengan shalat ‘Isya`? Maksudnya, tarawih dikerjakan langsung setelah shalat ‘Isya`, atau, jika jama’ah sepakat untuk menunda pelaksanaannya, setelah shalat ‘Isya` mereka bubar dan berkumpul lagi (setelah itu) untuk shalat tarawih, boleh atau tidak?
Beliau menjawab:
Shalat tarawih itu sunnah muakkadah (yang ditekankan), dan dilakukan langsung setelah shalat Isya‘ dan sunnah rawatib-nya. Inilah yang telah dilakukan kaum Muslimin. Sedangkan menunda pelaksanaannya sampai waktu lain (sebagaimana yang ditanyakan), meninggalkan mesjid setelah shalat 'Isya' kemudian kembali lagi ke masjid untuk mengerjakan shalat tarawih, maka perbuatan seperti ini bertentangan dengan kebiasaan yang telah berjalan.
Para ulama menyebutkan, shalat tarawih dikerjakan setelah shalat ‘Isya` dan sunnah rawatib-nya. Seandainya jama’ah menunda pelaksanaannya, kami tidak mengatakan ini haram, akan tetapi hal ini berbeda dengan kebiasaan yang sudah berlaku, yaitu shalat tarawih dikerjakan di awal malam. Inilah yang sudah berlaku. Adapun tahajjud, itu juga sunnah dan memiliki keutamaan yang besar. Shalat tahajjud ialah shalat setelah tidur, terutama pada sepertiga malam terakhir atau sepertiga malam setelah malam. Ini memiliki keutamaan yang agung, berpahala banyak, termasuk shalat sunnah yang terbaik yaitu tahajjud pada malam hari. Allâh Ta'ala berfirman :
Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk)
dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.
(Qs al-Muzammail/73: 6)
Dan juga berarti telah mengikuti Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Kalau ada seseorang yang shalat tarawih dan shalat witir bersama imam, kemudian ditengah malam ia bangun dan shalat tahajjud, maka hal itu tidak terlarang. Dia tidak perlu mengulangi shalat witir. Cukup baginya shalat witir yang sudah dikerjakan bersama imam. Dia boleh melakukan tahajjud sesuai dengan kemampuannya. Adapun jika ia ingin menunda shalat witir pada akhir malam, maka tidak mengapa, akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala mengikuti imam. Yang terbaik untuknya, ialah mengikuti imam dan melakukan shalat witir bersamanya. Berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam:
مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam selesai, maka dicatat untuknya shalat satu malam. [6]
Dia bisa mengikuti imam, witir bersamanya, dan ini semua tidak menghalangi dirinya bangun malam hari dan shalat tahajjud semampunya.
(Al-Muntaqâ min Fatâwâ Fadhilatisy-Syaikh Shâlih bin Fauzân, 3/76-77)
[1] Lihat Shahih Imam Bukhari (2/47-48), dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu'anha
[2] Lihat Shahih Imam Bukhari (2/45-46), dari hadits ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, dan hlm. 45 dari hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallâhu'anhu.
[3] HR Imam Muslim rahimahullâh dalam Shahih-nya (1/536-537), dari hadits Hudzaifah radhiyallâhu'anhu.
[4] Lihat Shahih Imam Bukhari (8/197), dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
[5] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh (2/45), dari hadits Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu.
Dan dalam hadits itu diceritakan bahwa ada seseorang yang bertanya: “Wahai, Rasûlullâh. Bagaimanakah cara shalat malam?”
Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ”Dua-dua. Jika engkau khawatir Shubuh, maka witirlah dengan satu raka’at.”
[6] Diriwayatkan Abu Dawud rahimahullâh dalam Sunan-nya (2/51), at-Tirmidzi rahimahullâh dalam Sunan-nya (3/147), an-Nasa‘i rahimahullâh dalam Sunan-nya (3/83-84), Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunan-nya (1/420). Semuanya dari hadits Abu Dzar radhiyallâhu'anhu
sumber: (Soal Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XI)
Monday, August 1, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment
Silakan Tinggalkan komentar yang berhubungan dengan materi. terima kasih telah berbagi...