Thursday, May 6, 2010

Ibnu Katsir -rahimahullah- Bukan Khawarij

Oleh : Abu Abdirrahman bin Thoyyib

Khawarij merupakan salah satu kelompok sesat yang pertama muncul di tengah kaum muslimin. Meskipun tidak ada pada zaman ini kelompok yang bernama Khawarij, namun pemikiran mereka banyak diadopsi oleh gerakan-gerakan Islam kontemporer. Diantara ciri khas mereka adalah mengkafirkan penguasa kaum muslimin yang tidak berhukum dengan hukum Allah, secara mutlak tanpa perincian. Dan mereka berusaha untuk mencari-cari dalih dan dalil, meskipun bukan pada tempatnya, atau mereka sendiri tidak paham akan apa yang mereka sampaikan.

Diantara syubhat mereka adalah ucapan Imam Ibnu Katsir v yang berkaitan dengan tafsir surat al-Maidah ayat 50, yang secara sepintas mereka pahami, bahwa beliau secara mutlak mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Padahal maksud ucapan beliau bukan seperti apa yang mereka pahami.

Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata : “Allah mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah yang muhkam (jelas), yang meliputi semua kebaikan dan yang melarang dari segala kejelekan, lalu dia condong kepada selain hukum Allah baik berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu dan istilah-istilah yang dibuat-buat oleh tokoh-tokohnya, tanpa landasan dari syariat Allah. Sebagaimana keadaan orang-orang jahiliyah yang berhukum dengan kesesatan dan kebodohan yang mereka buat sendiri dengan akal dan hawa nafsu mereka. Seperti juga orang-orang Tatar yang berhukum dengan undang-undang negara yang bersumber dari raja mereka, yaitu Jengiskhan yang membuat hukum bagi mereka dengan nama “al-Yasiq”. Dan “al-Yasiq” merupakan sebuah kitab hasil kolaborasi dari beberapa syariat, seperti Yahudi, Nashara, Islam dan selainnya, dan banyak juga yang merupakan hasil pemikiran dan hawa nafsunya. Maka hal itu menjadi syariat yang diikuti oleh keturunannya, mereka mengutamakannya (menganggapnya lebih baik) dari pada hukum Allah dan Rasul-Nya `.Barangsiapa diantara mereka yang melakukan hal tersebut, maka dia kafir, dan wajib untuk diperangi, sampai dia mau kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya dan tidak berhukum sedikitpun dengan selainnya…”.[1]

Di dalam ucapan al-Hafidz Ibnu Katsir v diatas, beliau mengkafirkan penguasa Tatar karena mereka mengutamakan hukum “al-Yasiq” dan mengunggulkannya diatas hukum Allah I.Vonis (kafir) ini tidak bisa diterapkan kecuali bagi yang berbuat seperti perbuatan mereka dari pembatal-pembatal keislaman, diantaranya adalah mendahulukan selain hukum Allah (menganggapnya lebih utama dari hukum Allah), hal ini juga dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v. Diantara pembatal-pembatal keislaman mereka itu juga adalah :

1- Mereka menjadikan agama Islam seperti agama Yahudi dan Nasrani, dan bahwa semua (agama ini) merupakan jalan menuju Allah, hal ini diibaratkan seperti madzhab yang empat pada kaum muslimin, lalu diantara mereka ada yang memilih agama Yahudi atau Nashrani atau agama Islam[2].

2- Bahkan menteri mereka yang busuk, atheis, munafik mengarang kitab yang isinya : bahwa Nabi ` meridhoi agama Yahudi dan Nashrani dan beliau tidak mengingkari mereka dan mereka tidak dicela, tidak dilarang dari agama mereka serta tidak diperintah untuk pindah ke agama Islam[3].

3- Orang ini dan semisalnya dari para pendahulu mereka setelah (memisalkan) Islam (seperti diatas tadi-pent) menjadikan Muhammad ` seperti Jengiskhan yang terlaknat, padahal telah diketahui bahwa Musailamah Al-Kadzaab lebih ringan madharatnya bagi kaum muslimin dari pada orang ini. Musailamah dulu mendakwakan bahwa dia adalah teman Muhammad dalam kerasulan, oleh karena itu para shahabat dahulu menghalalkan untuk memeranginya dan teman-temannya yang murtad, lalu bagaimanakah dengan orang yang menampakan Islam tapi menjadikan Muhammad ` seperti Jengiskhan ?![4].

4- Seperti yang dikatakan oleh pembesar tertinggi mereka yang dahulu pernah datang ke Syam, dia berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka dengan mengaku bahwa mereka adalah muslimin, dia berkata : Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah, yaitu Muhammad dan Jengiskhan. Ini adalah tujuan pembesar tertinggi mereka ketika mendekat kepada kaum muslimin, yaitu menyamakan Rasul Allah dan semulia-mulianya ciptaan serta tuannya anak Adam dan penutup para nabi dengan raja kafir, musyrik, bahkan termasuk tokoh orang musyrik dalam kekafiran, kerusakan dan permusuhan seperti Bukhtanashshar dan semisalnya[5].

5- Yang demikian itu, karena keyakinan orang-orang Tatar terhadap Jengiskhan yang sangat kuat (pengkultusannya). Mereka meyakini bahwa dia adalah anak Allah seperti keyakinan orang Nashara terhadap al-Masih (‘Isa), mereka mengatakan : “Sesungguhnya matahari menghamili ibunya, dahulu ibunya ada dikemah lalu turunlah matahari itu dari lubang kemah dan masuk ke dalamnya hingga hamil. Padahal sudah diketahui oleh setiap orang yang beragama bahwa ini adalah dusta, dan ini merupakan dalil bahwa dia adalah anak zina, dan ibunya berzina lalu menyembunyikan perbuataannya itu dan mendakwahkan hal ini agar terlepas dari aib zina[6].

6- Mereka juga menganggapnya sebagai utusan yang paling mulia disisi Allah dalam bentuk pengagungan terhadap apa yang diajarkan dan disyariatkannya, atas dasar prasangka dan hawa nafsu, sampai-sampai mereka mengatakan ketika mereka mendapatkan sebagian harta : Ini adalah rizki dari Jinkiskhan. Mereka mensyukurinya ketika makan dan minum, mereka menghalalkan untuk membunuh orang yang memusuhi apa yang diajarkan oleh orang kafir yang terlaknat ini, yang memusuhi Allah, para nabi dan rasul-Nya serta para hamba-Nya yang mukmin[7].

Inilah keadaan para raja Tatar yang masuk agama Islam dan berhukum dengan selain hukum Allah dengan pengingkaran dan penghalalan, dan mereka berlumuran dengan pembatal-pembatal keislaman, diantaranya adalah mengingkari, menghalalkan, mendahulukan dan mengutamakan selain hukum Allah.

Pada akhir perkataan al-Hafidz Ibnu Katsir diatas “mereka mengutamakannya” dan “maka barangsiapa yang berbuat demikian diantara mereka maka dia kafir”, menunjukkan dengan jelas bahwa pengkafiran ini khusus bagi mereka dan yang menelusuri jejak mereka dalam mengingkari, menghalalkan dan mendahulukan serta mengutamakan selain hukum Allah.

Kemudian perkataan beliau “maka menjadilah syariat yang diikuti oleh anak cucu mereka”, ini menjelaskan bahwa mereka itu menghalalkan hukum-hukum jahiliyah, dan menjadikannya sebagai agama Allah. Dan yang menunjukkan hal tersebut adalah perkataan mereka, bahwa Jengiskhan adalah anak Allah, dan juga perkataan Ibnu Taimiyah yang telah berlalu “Dan mereka bersamaan dengan ini menjadikannya sebagai utusan yang paling mulia di sisi Allah dalam bentuk mengagungkan apa-apa yang diajarkan dan disyariatkannya atas dasar prasangka dan hawa nafsu… Mereka menghalalkan membunuh orang yang memusuhi apa-apa yang diajarkan bagi mereka oleh orang kafir yang terlaknat ini”.

Ini adalah suatu kekufuran, seperti yang dikatakan oleh Ibnu al-‘Arabi : “Jika dia berhukum dengan akalnya dan menganggap bahwa itu dari Allah, maka ini adalah penipuan yang mengharuskan kekafiran”.[8]

Terlebih lagi Imam Ibnu Katsir v telah berkata dalam tafsir firman Allah :

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.”(QS.Al-Maidah : 44) : Dikarenakan mereka juhud (mengingkari) hukum Allah dengan kesengajaan dari mereka, dan ‘inad (penentangan)…”.[9]

Jadi, Imam Ibnu Katsir bukan secara mutlak mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, namun beliau memperinci, yaitu yang kafir adalah yang juhud dan menganggap hukum selain Allah lebih baik dari pada hukum Allah, seperti penguasa Tatar dan pengikutnya. Beliau adalah imam Ahlussunnah seperti ulama salaf yang lain, yang memperinci dalam masalah ini[10], bukan seperti Khawarij dan anak cucu mereka, yang secara mutlak mengkafirkan penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah, meskipun dia masih mengimani akan kewajibannya.

Sumber : Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 40, hal. 42-45


[1] Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim 2/93-94 oleh Ibnu Katsir.

[2] Majmu’ al-Fatawa 28/523 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

[3] Ibid.

[4] Majmu’ al-Fatawa 28/522.

[5] Ibid 28/521.

[6] Ibid 28/521.

[7] Ibid 28/521-522.

[8] Ahkam al-Qur’an 2/624 oleh Ibnu al-’Arabi, lihat : Al-Hukmu Bighairi Maa Anzalallahu hal. 162-164 oleh Syaikh DR. Khalid bin Ali bin Muhammad al-’Anbari.

[9] Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim 2/93.

[10] Lihat : Majalah adz-Dzakhirah edisi 22 hal. 13-21, dan edisi 30 hal. 11-25.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan Tinggalkan komentar yang berhubungan dengan materi. terima kasih telah berbagi...