Friday, July 2, 2010

Ghashab

Ghashab menurut bahasa berarti mengambil secara dzalim. Adapun menurut syariat berarti menguasai harta orang lain dengan alasan yang tidak benar. Tindakan ini termasuk kedzaliman yang diharamkan di dalam Al-kitab, As-Sunnah dan ijma’. Pelakunya harus mengembalikan apa yang di-ghashab, karena itu termasuk masalah mengembalikan kedzaliman kepada orang yang didzalimi.

مَنْ ظَلَمَ قِيْدَ شِبْرٍ مِنَ اْلأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

Dari ‘aisyah Radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam bersabda : “Barangsiapa yang berbuat dzalim terhadap satu jengkal tanah orang lain maka akan dikalungkan padanya tujuh lapis bumi.” (HR. Al-Bukhari no. 2453 dan Muslim no. 4113)

Penjelasan lafadz :

1. Qoida syibrin, artinya seukuran satu jengkal. Disebutkan satu jengkal sebagai isyarat untuk ukuran yang sedikit maupun yang banyak.

2. Thuwwiqohu, merupakan fi’il majhul, yang berarti dipasangi kalung di lehernya.

3. Adz-dzulmu, artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Menurut syariat berarti mengambil hak orang lain tanpa izinnya.

Makna Global :

Harta seseorang adalah haram atas orang lain. Seseorang tidak boleh mengambil sedikitpun hak orang lain, kecuali dengan kerelaan hatinya. Yang paling keras dalam hal ini ialah kedzaliman terhadap tanah, karena lamanya penguasaan dengan cara yang dzalim.

Karena itulah Nabi Shalallahu ‘alayhi wasallam mengabarkan bahwa siapa yang bertindak dzalim dalam penguasaan tanah, walaupun hanya sedikit, maka dia akan datang pada hari kiamat dengan siksaan yang paling pedih, bahwa lehernya menjadi berat dan panjang, kemudian dikalungi tanah yang di ghashab dan yang di kuasainya hingga tujuh bumi sebagai balasan atas kedzalimannya terhadap pemilik tanah.

Kesimpulan hadits :

1. Pengharaman ghashab, karena itu merupakan kedzaliman yang juga di haramkan Allah atas Diri-Nya dan dijadikan-Nya sebagai sesuatu yang haram diantara kita.

2. Kedzaliman itu haram dalam masalah yang sedikit atau banyak. Inilah faidah disebutkannya satu jengkal.

3. Benda-benda yang tidak bergerak bisa dianggap di ghashab dengan cara menguasainya. Menurut al-Qurthuby, dari hadits ini dapat disimpulkan tentang kemungkinan masuknya meng-ghashab tanah dalam dosa-dosa besar.

4. Hak milik yang dhahir ialah tanah dan hak milik batinnya adalah bagian dalam tanah. Sehingga seseorang tidak boleh melobangi bagian dalam tanah di bawah permukaan tanah, atau membuat lorong dan terowongan kecuali dengan izinnya. Pemilik tanah adalah pemilik apapun yang terpendam dalam tanah itu, seperti batu-batuan dan barang tambang sehingga dia berhak untuk menggali sesukanya. Para ulama juga menyatakan bahwa udara juga mengikuti ketetapan. Siapa yang memiliki sebidang tanah, maka dia juga memiliki apa yang ada di atasnya.

5. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata, “jika yang haram bercmpur dengan yang halal, sepeti barang yang dikuasai dengan ghashab, riba dan judi, lalu tidak ada kejelasan ketika ia bercampur dengan yang lain (yang halal), maka tidak diharamkan untuk dicampur. Jika disuatu lahan ada gambaran seperti ini, tidak diketahui secara jelas garis perbedaannya, maka tidak diharamkan bagi seseorang untuk membeli lahan itu. Tapi jika mayoritas harta seseorang diperoleh dengan cara haram, maka apakah menggunakan harta itu haram ataukah makruh? Jawabannya dapat ditilik dari dua sisi. Yang pasti, jika mayoritas hartanya halal, maka tidak diharamkan menggunakannya.”

6. Syaikhul Islam juga berkata, “Jika pemiliknya kesulitan mengetahui halal-haramnya, maka dia dapat menggunakannya untuk kepentingan umum bagi orang-orang muslim. Begitulah pendapat jumhur ulama. Jika di tangan pada seseorang ada barang-barang dari hasil ghashab, titipan, gadai yang tidak diketahui siapa pemiliknya, maka harta itu dapat di shadaqohkan atas nama para pemiliknya atau dapat digunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin atau diserahkan pada pengadilan, demi untuk kepentingan umum.”

Faidah :

Dikatakan dalam Al-Mughny, “Jalan raya, lorong dan taman yang penggunaannya untuk umum, tidak boleh di gunakan atau ditanami seseorang, dalam ukuran yang sempit atau luas, dianggap mengganggu manusia atau tidak, karena semua itu menjadi milik bersama diantara semua manusia dan berkait dengan kemaslahatan mereka, sehingga mirip dengan masjid mereka. Namun boleh memanfaatkannya untuk berjual-beli dengan cara yang tidak mempersempit atau membahayakan orang-orang yang berlalu-lalang. Hal ini disepakati semua ulama dari berbagai wilayah, sehingga tidak perlu dilarang, selagi tidak menimbulkan madharat.

Wallahu a’lam...

Sumber : Kitab “Taisirul ‘allam, Syarh ‘umdatul ahkam”, penjelasan hadits-hadits pilihan dari kitab bukhari muslim, syaikh Abdullah bin abdurrahman bin shalih ali bassam.

0 komentar:

Post a Comment

Silakan Tinggalkan komentar yang berhubungan dengan materi. terima kasih telah berbagi...